Keadilan yang Tertunda, Kepercayaan Publik Tergerus
Ketidaktegasan Kejagung dalam mengeksekusi putusan hukum terhadap Silfester dikhawatirkan berdampak serius terhadap kepercayaan publik terhadap institusi hukum.
“Kalau Kejagung terus diam, masyarakat bisa geram. Jangan sampai ada kesan hukum hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas,” ujar seorang aktivis hukum di Jakarta, menanggapi isu ini di media sosial X.
Sejumlah netizen juga ramai menyoroti fenomena “pilih kasih” dalam penegakan hukum.
Tagar seperti #TangkapSilfesterSekarang mulai bermunculan di berbagai platform, menandakan kegelisahan publik terhadap lambannya proses penegakan keadilan.
Kritik ini selaras dengan tren meningkatnya perhatian masyarakat terhadap transparansi hukum, terutama setelah berbagai kasus korupsi dan pelanggaran etik menyeret figur publik dalam beberapa bulan terakhir.
Baca Juga: KPK Periksa Kabiro Humas Kemnaker, Dalami Dugaan Aliran Uang Pemerasan Sertifikasi K3
Tekanan Politik dan Imbas ke Kredibilitas Kejagung
Dalam konteks politik nasional, kasus Silfester juga bisa menjadi ujian bagi Kejagung untuk menunjukkan independensinya.
Bila penanganan kasus ini dinilai lamban atau tebang pilih, hal itu dapat menurunkan kredibilitas institusi dan memperkuat persepsi publik bahwa hukum mudah diintervensi kekuasaan.
Selamat Ginting menilai, jika Kejagung tidak segera menindaklanjuti, “rakyat bisa geruduk Kejagung.”
Ungkapan itu mungkin hiperbolis, namun menggambarkan tingkat frustrasi publik yang makin tinggi terhadap inkonsistensi hukum di Indonesia.
Kejagung hingga saat ini belum memberikan pernyataan resmi mengenai alasan belum dieksekusinya vonis terhadap Silfester. Publik menunggu langkah konkret sebagai bukti bahwa hukum masih memiliki wibawa di mata rakyat.
Kasus Silfester Matutina bukan hanya persoalan satu orang, melainkan refleksi atas konsistensi penegakan hukum di Indonesia.