Angka ini menunjukkan skala permasalahan yang cukup luas dan mengakar dalam industri perjalanan haji.
Tidak hanya KPK, Panitia Khusus (Pansus) Angket Haji DPR RI juga menemukan kejanggalan pada pembagian kuota tambahan haji 2024.
Pemerintah Arab Saudi memberikan tambahan 20.000 kuota, namun Kementerian Agama membaginya rata: 10.000 untuk haji reguler dan 10.000 untuk haji khusus.
Padahal, Pasal 64 UU No. 8 Tahun 2019 menegaskan porsi kuota haji khusus hanya 8 persen, sementara 92 persen untuk haji reguler.
Skema pembagian yang janggal ini menjadi salah satu sorotan utama DPR karena dianggap merugikan jemaah reguler yang jumlahnya jauh lebih besar.
Baca Juga: Suasana Haru di Lubang Buaya, Puan Maharani Bacakan Ikrar Pancasila 2025 di Depan Prabowo dan
Publik Pertanyakan Transparansi Penyelenggaraan Haji
Kasus ini menimbulkan keresahan di kalangan calon jemaah haji. Banyak pihak mempertanyakan transparansi pengelolaan kuota yang seharusnya dilakukan secara adil.
Di media sosial, warganet ramai menyuarakan kekecewaan. Mereka menilai, dugaan praktik jual beli kuota dan adanya “jalan pintas” bagi yang mampu membayar lebih bertentangan dengan semangat keadilan dalam penyelenggaraan ibadah.
“Kalau benar ada uang percepatan, artinya jamaah biasa semakin sulit berangkat haji. Ini harus dibongkar sampai tuntas,” tulis seorang pengguna X (Twitter).
Jika dugaan ini terbukti, dampak terbesarnya akan dirasakan langsung oleh calon jemaah haji reguler.
Waktu tunggu keberangkatan yang kini sudah mencapai belasan hingga puluhan tahun di beberapa daerah bisa semakin panjang.
Bagi pemerintah, kasus ini sekaligus menjadi ujian besar dalam tata kelola penyelenggaraan ibadah haji yang melibatkan anggaran besar dan menyangkut kepentingan umat.
Skandal kuota haji ini memperlihatkan betapa rentannya sistem pengelolaan ibadah haji terhadap praktik penyalahgunaan wewenang.