Ia memperlihatkan bagaimana politik simbol digunakan untuk membangun narasi perdamaian.
Bagi Indonesia, ini bisa jadi momen emas untuk mempertegas peran sebagai jembatan antara dunia Arab dan Israel.
Namun di saat yang sama, diplomasi semacam ini menuntut komunikasi publik yang hati-hati agar tidak memicu kegaduhan politik di dalam negeri.
Pertanyaannya kini: apakah publik Indonesia siap menerima paradigma baru diplomasi luar negeri yang lebih realistis dan inklusif, atau justru tetap ingin bertahan pada sikap historis yang kaku?***