Pakar hukum tata negara dari Universitas Indonesia, misalnya, menekankan bahwa informasi saksi sebaiknya hanya diberikan di ruang penyidikan.
Menurutnya, “Kalau saksi menggunakan media sosial, ada risiko informasi tersebut bias atau bahkan dimanfaatkan pihak lain untuk menggiring opini.”
Di sisi lain, masyarakat juga menginginkan transparansi lebih dari KPK. Kasus besar dengan kerugian ratusan miliar dinilai tak boleh berlarut-larut.
“Kalau memang ada nama besar terlibat, harus jelas. Jangan berhenti di level korporasi saja,” tulis salah satu komentar warganet.
Fenomena Lisa Mariana mencerminkan tantangan baru bagi penegakan hukum di era digital.
Media sosial kerap dijadikan sarana “menggugat” proses hukum, tetapi sekaligus berisiko mengaburkan fakta sebenarnya.
Bagi KPK, jalur hukum tetap prioritas. Namun, bagi publik, suara di media sosial dianggap sebagai tekanan moral agar lembaga antikorupsi lebih terbuka.
Inilah titik benturan antara prosedur hukum dan tuntutan transparansi publik yang semakin keras.
Kasus dugaan korupsi Bank BJB bukan sekadar soal kerugian Rp222 miliar, melainkan juga ujian integritas lembaga hukum dan figur publik.
Pernyataan Lisa Mariana mungkin kontroversial, tetapi sekaligus menyoroti keresahan publik terhadap lambannya pengusutan kasus besar.
Baca Juga: Revisi UU Polri Dinilai Jadi Senjata Baru Tim Reformasi, DPR Tegaskan Tak Ada Benturan
Kini, tantangan KPK adalah membuktikan bahwa proses hukum berjalan adil dan transparan, tanpa terjebak pada hiruk pikuk drama media sosial. Publik menunggu langkah konkret, bukan sekadar klarifikasi.***