Kritik Purbaya ini sejalan dengan masalah klasik perbankan Indonesia yang kerap dianggap terlalu berhati-hati.
Meski stabilitas keuangan terjaga, penyaluran kredit ke sektor produktif masih tertahan.
Di sisi lain, sektor usaha, terutama UMKM, terus menjerit membutuhkan akses permodalan dengan bunga terjangkau.
Jika bank masih berfokus pada instrumen investasi aman, dampaknya justru stagnasi pada sektor riil yang seharusnya menjadi penggerak utama penciptaan lapangan kerja.
Baca Juga: Kasus Korupsi Kredit Sritex Makin Panas, 3 Tersangka Resmi Diserahkan ke Kejari Surakarta!
Pengamat keuangan menilai dorongan Menkeu ini penting agar bank tidak hanya mengutamakan profit jangka pendek.
“Kalau hanya parkir dana di obligasi, fungsi intermediasi perbankan hilang. Padahal, peran bank adalah menghubungkan dana masyarakat dengan sektor produktif,” kata salah satu analis pasar modal.
Resonansi ke Publik dan Dunia Usaha
Sindiran Purbaya ini menuai beragam komentar publik. Sebagian warganet mendukung langkah tersebut dengan menyebut perbankan memang terlalu nyaman di zona aman.
Ada juga yang menyinggung soal gaya hidup mewah direksi bank yang kontras dengan sulitnya pelaku usaha kecil mendapatkan pinjaman modal.
Sementara itu, asosiasi pengusaha menyambut baik sikap tegas Menkeu. Mereka berharap suntikan dana Rp200 triliun benar-benar bisa dirasakan melalui turunnya bunga kredit dan bertambahnya akses pembiayaan bagi sektor riil.
Meski pesan Purbaya cukup keras, tantangan di lapangan tidak mudah. Bank tetap harus menjaga kualitas aset dan menghindari kredit macet.
Namun, di saat yang sama, mereka dituntut lebih berani menyalurkan kredit ke sektor-sektor produktif yang bisa mempercepat pemulihan ekonomi.
Jika dorongan ini berhasil, dampaknya bisa signifikan: bunga pinjaman lebih rendah, akses kredit UMKM meningkat, dan daya saing ekonomi Indonesia makin kuat.