Penasehat hanya meminta hadiah sederhana: satu butir beras di kotak pertama papan catur, dua butir di kotak kedua, empat di kotak ketiga, dan seterusnya hingga 64 kotak penuh.
Awalnya terdengar remeh, tapi jumlah beras yang diminta berkembang secara eksponensial hingga kerajaan kewalahan memenuhinya.
“Seperti itu pula perubahan bekerja. Dari satu menjadi dua, dua menjadi empat, lalu delapan, hingga melahirkan gelombang besar yang tidak terbendung,” jelas Tom.
Momentum Tuntutan 17 Plus 8
Tuntutan 17 plus 8 kini dipandang banyak pihak sebagai representasi kegelisahan publik atas tata kelola negara.
Baca Juga: Bukan Sekadar Sita Harta, RUU Perampasan Aset Disebut Senjata Ampuh Memiskinkan Koruptor
Meski detail tuntutan masih diperdebatkan, substansinya mencerminkan keinginan masyarakat untuk pembaruan sistem pemerintahan.
Pengamat menilai, analogi Tom Lembong memberi perspektif baru: perubahan yang dimulai dari langkah sederhana dapat berkembang menjadi arus besar politik.
Di sisi lain, kisah ini juga jadi pengingat bahwa gerakan publik tidak boleh disepelekan, karena bisa bertransformasi menjadi kekuatan besar yang menentukan arah bangsa.
Di ruang digital, pernyataan Tom Lembong menuai beragam reaksi.
Sebagian warganet menyambut optimis dengan menyebutnya sebagai bentuk dukungan moral terhadap aspirasi rakyat.
Namun, ada juga yang skeptis, menilai perubahan tidak cukup hanya lewat analogi, melainkan butuh keberanian politik dari elite.
“Analogi Tom memang bagus, tapi kalau elit politik tetap abai, ya rakyat akan tetap berjuang sendiri,” tulis salah satu komentar yang ramai dibagikan di X (Twitter).
Pernyataan Tom Lembong seolah jadi pengingat penting: konsistensi lebih berharga daripada langkah besar yang instan.