HUKAMANEWS – Pengamat hukum dan politik Dr. Pieter C Zulkifli, SH., MH menyoroti fenomena yang ia sebut sebagai “mental stunting” pejabat, yakni kondisi di mana pejabat memiliki kekuasaan besar namun kerdil dalam integritas.
Menurutnya, fenomena ini menjadi akar dari maraknya korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan di Indonesia.
“Banyak pejabat tubuh kekuasaannya gagah, fasilitas negara melekat di punggungnya, tapi secara moral kerdil. Inilah yang saya sebut mental stunting pejabat. Mereka besar di jabatan, tapi kecil dalam visi, keberanian, dan integritas,” kata Pieter saat dihubungi, Sabtu (13/9/2025).
Pieter menegaskan, korupsi adalah wajah paling telanjang dari mental stunting.
Baca Juga: Keadilan Fiskal dan Martabat Demokrasi
Ia tumbuh dari budaya politik transaksional dan logika pragmatisme yang hanya mementingkan keuntungan pribadi.
“Pejabat tidak lagi berpikir soal kebijakan jangka panjang atau kepentingan publik, melainkan bagaimana memperkaya diri dan kelompoknya. Sistem yang seharusnya jadi pagar justru keropos karena pengawasan lemah, transparansi minim, dan akuntabilitas hanya sebatas jargon,” jelasnya.
Ia juga mengutip penelitian UIN Malang yang menunjukkan budaya kolektivis bercampur politik transaksional memperkuat perilaku koruptif.
“Loyalitas pada patron dan partai lebih diutamakan daripada kepentingan bangsa. Akhirnya, rakyat hanya jadi penonton yang menanggung rugi,” tambahnya.
Menurut Pieter, mental stunting pejabat memberi dampak serius terhadap demokrasi dan kehidupan rakyat.
Baca Juga: Menyulam Tenun Kebangsaan, Menjaga Indonesia
Proyek publik sering dipolitisasi, layanan dasar macet, hingga sumber daya alam dikapling oleh segelintir elite.
“Kasus e-KTP hingga dugaan korupsi timah yang nilainya triliunan adalah contoh nyata. Negara seolah jadi toko serba ada untuk kepentingan pribadi pejabat dan korporasi. Sementara rakyat hanya mendapat remah,” tegasnya.
Ia menyebut fenomena elite capture atau penangkapan kebijakan oleh kelompok elit semakin telanjang.
Akibatnya, kata Pieter, kepercayaan publik pada lembaga negara terus menurun.