Uang tersebut dialihkan ke rekening pribadi lalu digunakan untuk membeli tanah, mobil, hingga membuka usaha kuliner.
Satori meraup Rp12,52 miliar, terdiri dari Rp6,3 miliar dari BI dan Rp5,14 miliar dari OJK.
Dana itu dipakai untuk deposito, pembangunan showroom, hingga pembelian aset properti.
Keduanya juga diduga melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dengan memindahkan dana melalui rekening orang kepercayaan.
Bahkan, Satori disebut melakukan rekayasa perbankan untuk menyamarkan transaksi deposito.
Baca Juga: KPK Telusuri Aliran Uang Korupsi Kuota Haji, PBNU Ikut Terseret dalam Pemeriksaan
Proses Hukum Berjalan
KPK menetapkan Hergun dan Satori sebagai tersangka pada 7 Agustus 2025, setelah melakukan penggeledahan di Gedung BI (16 Desember 2024) dan kantor OJK (19 Desember 2024).
Kasus ini bermula dari laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) serta aduan masyarakat.
Penyelidikan awal menunjukkan pola penyaluran dana CSR tidak sesuai proposal kegiatan sosial.
Menurut sumber KPK, penyidik kini tengah menelusuri apakah ada pihak lain di Komisi XI DPR yang ikut menerima aliran dana serupa.
Pernyataan Satori yang menyebut banyak anggota DPR juga menikmati dana CSR semakin menambah panas isu ini.
Baca Juga: KPK Dalami Laporan Dugaan Keterlibatan Mantan Menteri Budi Arie dalam Kasus Judi Online
Publik ramai mempertanyakan integritas pengelolaan dana CSR lembaga negara, terutama ketika dana tersebut seharusnya dialokasikan untuk masyarakat kecil.
Netizen di media sosial menyoroti bahwa “dana untuk beasiswa dan pemberdayaan malah jadi modal beli mobil mewah”.