Ironisnya, sebagian besar korban justru anak muda yang turun ke jalan menuntut perubahan.
Situasi semakin memanas ketika bandara internasional Kathmandu terpaksa menutup seluruh penerbangan demi keamanan.
Tekanan publik juga memaksa sejumlah menteri ikut mengundurkan diri, di antaranya Menteri Dalam Negeri Ramesh Lekhak dan Menteri Pertanian Ramnath Adhikari.
Namun, kejatuhan elite tidak serta-merta meredakan amarah. Demonstrasi tetap berlanjut, dengan aksi pembakaran ban dan serangan ke kantor partai politik.
Rakyat menuntut bukan sekadar pergantian tokoh, melainkan reformasi total dalam tubuh pemerintahan Nepal.
Baca Juga: Buronan Nomor 1 Sri Lanka Tertangkap di Jakarta Barat, Tinggal Nyaman di Apartemen Kebon Jeruk!
Menurut pengamat politik Yog Raj Lamichhane, fenomena nepo kids hanyalah puncak gunung es dari ketimpangan struktural di Nepal.
“Anak pejabat hidup dari keuntungan politik orang tuanya. Ini menimbulkan frustrasi luar biasa di kalangan rakyat biasa,” tegas Yog Raj.
Senada, akademisi Dipesh Karki dari Kathmandu University menyebut masalah ini merupakan warisan lama sejak era kerajaan.
“Fenomena nepo kids hanyalah wajah baru dari praktik lama, yaitu penangkapan sumber daya oleh kelompok elite,” jelasnya.
Dengan kata lain, nepo kids bukan hanya soal gaya hidup pamer, melainkan simbol nyata dari jurang sosial antara elite politik dan rakyat biasa.
Baca Juga: Trump Teken Keputusan Kontroversial, Departemen Pertahanan Kini Berganti Jadi Departemen Perang
Banyak warga Nepal menilai momentum krisis ini sebagai peluang bagi lahirnya sistem yang lebih adil.
Generasi muda yang mendominasi aksi protes menuntut transparansi, keadilan ekonomi, dan pemerataan kesempatan kerja.
Namun, kekhawatiran juga muncul. Apakah gelombang reformasi ini benar-benar membawa perubahan, atau hanya mengganti wajah-wajah lama dengan yang baru?