HUKAMANEWS – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali membeberkan detail baru dalam kasus dugaan korupsi pengadaan iklan di Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten (Bank BJB) periode 2021–2023.
Nama Ridwan Kamil (RK), mantan Gubernur Jawa Barat, kembali mencuat setelah disebut-sebut menerima aliran dana nonbujeter yang diminta langsung dari jajaran komisaris dan direksi Bank BJB.
Skema yang diungkap KPK ini diyakini menjadi salah satu pintu masuk keterlibatan RK dalam perkara yang sedang didalami penyidik.
Menurut KPK, dana tersebut digunakan untuk kegiatan di luar anggaran resmi pemerintah, sehingga tidak tercatat dalam laporan keuangan resmi daerah.
Baca Juga: Menhan Sjafrie Pilih Irit Bicara Soal Dansat Siber TNI Polisikan Ferry Irwandi: “Itu Ranah Panglima”
Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menegaskan bahwa modus ini sudah berjalan sejak RK masih menjabat sebagai gubernur.
“Bank Jabar ini (Bank BJB), salah satunya si komisaris dan direktur utamanya ini menyediakan uang untuk kegiatan-kegiatan nonbujeter. Salah satunya diminta oleh oknum pejabat di Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Jadi, uangnya seperti itu,” ujar Asep di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (9/9/2025).
Dalam praktiknya, dana nonbujeter sering kali menjadi celah rawan penyalahgunaan.
Skema ini biasanya melibatkan pejabat tinggi perusahaan daerah dan pejabat pemerintah yang meminta dukungan dana untuk kepentingan tertentu, termasuk kegiatan politik atau operasional yang tidak bisa dibiayai APBD.
Baca Juga: Isu Raffi Ahmad Jadi Menpora Menggantikan Dito Ariotedjo Menguat, Warganet Mencibir
KPK menduga dana yang diminta melalui Bank BJB digunakan untuk keperluan personal maupun aktivitas lain di luar mekanisme resmi.
Meski belum dijelaskan rinci berapa jumlah dana yang mengalir, penyidik menilai pola ini cukup sistematis.
“Bagaimana saudara RK bisa mendapatkan uang? Pada saat itu yang bersangkutan menjabat sebagai gubernur Jawa Barat,” tambah Asep.
Bank BJB, yang notabene milik daerah, kini ikut terseret dalam pusaran kasus ini.
Lembaga perbankan daerah sering kali berada di posisi dilematis antara melayani kepentingan bisnis sekaligus menghadapi tekanan dari pejabat politik daerah.