nasional

Pengamat Nilai Kerusuhan Agustus Jadi Alarm Demokrasi, Negara Harus Kembali Berpihak pada Rakyat

Kamis, 4 September 2025 | 20:30 WIB
Dr Pieter C Zulkifli ingatkan tragedi Affan Kurniawan sebagai titik balik demokrasi Indonesia. (HukamaNews.com / Antara)

HUKAMANEWS – Kerusuhan yang pecah pada akhir Agustus 2025 dinilai sebagai alarm keras bagi perjalanan demokrasi Indonesia.

Peristiwa itu bukan hanya soal unjuk rasa yang berakhir ricuh, tetapi juga cermin dari hilangnya empati negara terhadap rakyat.

Pengamat hukum dan politik, Dr Pieter C Zulkifli, SH., MH., menegaskan bahwa demokrasi akan kehilangan ruh jika kekuasaan dijalankan tanpa keberpihakan.

Ia menilai tragedi meninggalnya seorang pengemudi ojek online, Affan Kurniawan, di tengah kericuhan menjadi simbol bahwa negara telah gagal melindungi warganya.

Baca Juga: Dari Founder Gojek ke Tersangka Kejagung, Harta Nadiem Makarim Lenyap Rp4,2 Triliun dalam 2 Tahun

“Ketika rakyat menyuarakan protes, negara merespons dengan represi. Itu menunjukkan ada jarak yang makin lebar antara elite politik dengan masyarakat. Krisis ini bukan sekadar soal kebijakan, tapi soal hilangnya keberpihakan,” ujar Pieter, Rabu (3/9/2025).

Menurut Pieter, gelombang protes yang melibatkan mahasiswa, buruh, hingga pengemudi ojek online tidak lahir begitu saja.

Kesenjangan antara kehidupan mewah anggota DPR dengan jeritan rakyat yang menghadapi tingginya harga pangan dan biaya hidup menjadi pemicu utama.

“Kontras itu ibarat garam di atas luka rakyat. Wajar jika akumulasi kekecewaan akhirnya meledak di jalanan,” katanya.

Baca Juga: Tunjangan Dihapus, Rakyat Menang Satu Langkah, Usai DPR Minta Maaf, Jangan Kasih Kendor Kawal Terus!

Kerusuhan tersebut, lanjut Pieter, berdampak serius terhadap stabilitas politik dan ekonomi.

Beberapa gedung DPRD dibakar, investor asing mulai meragukan iklim usaha di Indonesia, dan dunia bisnis ikut gamang.

“Kalau kepercayaan runtuh, yang menderita justru rakyat kecil. PHK massal bisa terjadi, lapangan kerja hilang, dan jutaan keluarga terdampak,” tegasnya.

Meski pemerintah kemudian mencabut sejumlah tunjangan DPR dan menunda perjalanan dinas ke luar negeri, Pieter menilai langkah itu datang terlambat.

“Luka sudah telanjur menganga. Pertanyaan mendasarnya, mengapa kebijakan seperti itu bisa lolos sejak awal? Di sinilah letak persoalan tata kelola politik kita,” jelasnya.

Halaman:

Tags

Terkini