Ia mengingatkan agar tragedi kematian Affan tidak hanya menjadi angka dalam laporan.
“Ini harus menjadi titik balik. Negara tidak boleh abai pada nyawa rakyatnya. Kekuasaan tanpa empati hanya akan melahirkan kehancuran,” ujar Pieter.
Pieter juga menekankan bahwa seruan “Jaga Indonesia” harus dimaknai lebih dalam. Bukan hanya ajakan menahan diri dari kerusuhan, tetapi juga seruan moral bagi semua pihak untuk berbenah.
“Pemerintah dan parlemen wajib menunjukkan keberpihakan nyata lewat kebijakan yang adil dan sikap rendah hati. Demokrasi hanya bisa hidup jika suara rakyat dihormati, bukan dibungkam,” tandasnya.
Ia menambahkan, masyarakat juga perlu menjaga cara menyampaikan aspirasi agar tidak dibungkus kekerasan. Namun tanggung jawab terbesar tetap berada di pundak negara.
“Demokrasi bukan pesta lima tahunan, melainkan ruang hidup sehari-hari. Negara wajib hadir dengan hukum yang adil, politik yang bermoral, dan kepemimpinan yang berpihak pada rakyat,” katanya.
Menurut Pieter, saat ini yang paling mendesak adalah merajut kembali kepercayaan publik.
“Agustus kelabu sudah lewat, sekarang waktunya menyulam kembali tenunan kebangsaan yang sempat koyak. Bukan dengan retorika, tapi dengan langkah nyata: menghentikan arogansi, membenahi kebijakan, dan membuka ruang dialog jujur,” pungkasnya.***
Artikel Terkait
Putusan MK Soal Pemilu Serentak: Momentum Mendesain Ulang Demokrasi yang Berkeadilan
Kejahatan Kerah Putih dan Murahnya Harga Keadilan
10.000 Ton Beras untuk Palestina, Stunting di Negeri Sendiri
DPR, KPK, dan Pertarungan Senyap di Balik Revisi KUHAP
Mengukur Kemiskinan, Melupakan Kemanusiaan: Paradoks Statistik dan Realitas Rakyat