“Sesuai putusan pengadilan, hak politiknya dicabut hingga 2029. Saat ini ia masih wajib lapor ke Balai Pemasyarakatan,” kata Rika Aprianti, pejabat Ditjen Pemasyarakatan.
Namun penjelasan itu tidak meredakan kritik. Publik menilai, kebijakan remisi yang longgar dan pembebasan bersyarat bagi koruptor hanya menambah kesan hukum tumpul ke atas.
Di media sosial, respons publik memuncak dengan nada sinis. Banyak netizen menyebut kebebasan Setnov sebagai bukti bahwa hukum di Indonesia masih berpihak pada “kelas kakap”.
“Bagi rakyat biasa, mencuri sandal bisa dipenjara bertahun-tahun. Tapi bagi koruptor triliunan, selalu ada jalan keluar,” tulis salah satu komentar yang viral di platform X.
Baca Juga: RUU KUHAP Dinilai Melemahkan KPK, Setyo Budiyanto Tegas: Jangan Beri Celah Koruptor Lolos!
Data ICW juga mendukung sentimen tersebut. Rata-rata vonis kasus korupsi pada 2023 hanya 3 tahun 4 bulan, jauh dari harapan publik.
Apalagi setelah pencabutan PP 99/2012, syarat pemberian remisi bagi koruptor semakin longgar.
Bebasnya Setya Novanto di hari-hari peringatan HUT RI mempertegas ironi penegakan hukum di negeri ini.
Alih-alih menjadi momentum untuk menunjukkan ketegasan terhadap koruptor, momen ini justru memperlihatkan lemahnya efek jera.
“Kalau pemerintah ingin serius, harus ada regulasi baru yang memperketat remisi dan pembebasan bersyarat bagi koruptor,” tutup Tibiko.
Kini, publik masih menunggu apakah kritik ini hanya akan berlalu bersama isu musiman, atau benar-benar mendorong langkah konkret dari Presiden Prabowo dalam membuktikan komitmennya.***