Langkah tersebut menjadi bagian penting dalam proses litigasi ekstradisi, guna memastikan keabsahan tuntutan yang diajukan oleh Indonesia terhadap Tannos.
Supratman berharap proses hukum bisa segera rampung, baik pada September maupun Oktober mendatang.
Namun ia juga membuka kemungkinan bahwa Tannos bisa saja secara sukarela menyerahkan diri untuk diekstradisi, jika memang bersedia menyudahi proses hukum secara damai.
Sidang awal terkait ekstradisi ini sudah dimulai sejak 23 Juni 2025 di pengadilan tingkat pertama di Singapura.
Paulus Tannos sendiri telah masuk dalam daftar buron Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak 19 Oktober 2021, terkait kasus besar pengadaan proyek KTP elektronik yang merugikan negara triliunan rupiah.
Setelah buron cukup lama, Tannos akhirnya ditangkap pada 17 Januari 2025 oleh Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB),lembaga penegak hukum antikorupsi di Singapura yang dikenal ketat dan independen.
Penangkapan tersebut membuka jalan bagi pemerintah Indonesia untuk segera mengajukan permintaan ekstradisi secara resmi.
Permintaan tersebut dikirimkan pada 22 Februari 2025, menjadi kasus pertama yang diajukan Indonesia pasca-penandatanganan perjanjian ekstradisi bilateral dengan Singapura.
Kasus ini tak hanya menjadi ujian serius bagi kerja sama hukum antarnegara, tapi juga menjadi simbol kuat bahwa kejahatan korupsi tidak mengenal batas wilayah.
Dalam kerangka hukum internasional, keberhasilan Indonesia dalam mengekstradisi Tannos akan menjadi preseden penting untuk upaya pemberantasan korupsi yang lebih efektif dan lintas negara.
Pemerintah Indonesia terus memantau perkembangan sidang di Singapura dan berharap proses hukum berjalan adil serta transparan.
Jika ekstradisi berhasil dilakukan, maka Tannos akan segera dibawa kembali ke Indonesia untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan hukum.
Kita tunggu saja, apakah keadilan akhirnya bisa membawa pulang salah satu pelaku korupsi terbesar yang selama ini bersembunyi di luar negeri.***