Dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Jumat, 25 Juli 2025, Hasto divonis terbukti secara sah melakukan tindak pidana suap.
Ia disebut telah menyuap mantan Komisioner KPU, Wahyu Setiawan, agar eks caleg PDIP, Harun Masiku, bisa duduk sebagai anggota DPR RI periode 2019–2024 lewat mekanisme Pergantian Antar Waktu (PAW).
Nama Harun Masiku sendiri hingga kini masih menjadi buronan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan keberadaannya belum juga diketahui sejak buron pada awal 2020.
Selain hukuman badan, Hasto juga dijatuhi pidana denda sebesar Rp250 juta.
Baca Juga: Hasto Kristiyanto Divonis 3 Tahun 6 Bulan, Isyarat Reformasi Internal Partai Makin Mendesak
Jika denda itu tidak dibayar, maka ia harus menjalani hukuman pengganti selama tiga bulan penjara tambahan.
Penggunaan amicus curiae dalam perkara ini menunjukkan pendekatan baru yang makin terbuka dalam sistem hukum di Indonesia.
Biasanya, dokumen amicus curiae lebih dikenal dalam praktik peradilan internasional atau kasus-kasus hukum tata negara.
Namun kini, praktik tersebut mulai merambah ke pengadilan pidana, bahkan dalam kasus korupsi yang melibatkan tokoh politik.
Fenomena ini bisa jadi refleksi atas dorongan publik agar pengadilan tak semata-mata menjadi tempat adu kekuatan hukum formal, tapi juga wadah untuk menimbang keadilan dari berbagai sisi, termasuk suara masyarakat sipil.
Pengadilan pun menunjukkan sinyal bahwa mereka mendengar, meskipun tetap menjaga jarak dari pengaruh luar.
Apa yang terjadi dalam sidang vonis Hasto juga membuka diskusi lebih luas soal peran masyarakat, akademisi, dan tokoh publik dalam menjaga integritas sistem hukum.
Ketika ruang keadilan tidak lagi bersifat eksklusif, maka publik memiliki harapan baru bahwa putusan-putusan hukum bisa lebih merefleksikan keadilan substantif.