Tak hanya itu, SW juga mengubah metode pengadaan dari e-catalog menjadi SIPLAH (Sistem Informasi Pengadaan Sekolah), lalu menyusun petunjuk pelaksanaan bantuan pemerintah untuk pengadaan 15 unit laptop dan 1 connector per sekolah dengan nilai Rp88,25 juta.
Jumlah ini berasal dari dana transfer satuan pendidikan yang seharusnya digunakan untuk kebutuhan pendidikan dasar.
SW bahkan menyusun petunjuk teknis lanjutan untuk tahun 2021–2022, yang kembali mengarahkan penggunaan Chrome OS dalam pengadaan TIK.
Sementara itu, MUL juga disebut menjalankan instruksi serupa.
Pada tanggal 30 Juni 2020, ia mengarahkan HS selaku PPK di Direktorat SMP untuk mengklik pengadaan TIK yang sudah diarahkan ke satu penyedia, yakni PT Bhinneka Mentari Dimensi.
Setelah itu, MUL membuat petunjuk pelaksanaan pengadaan peralatan TIK untuk jenjang SMP tahun 2020 yang menyelaraskan spesifikasi ke Chrome OS, menyesuaikan dengan regulasi yang dibuat Mendikbudristek dalam Permendikbud Nomor 5 Tahun 2021.
Keduanya kini telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejagung bersama dua nama lain, yaitu Jurist Tan (Staf Khusus Mendikbudristek 2020–2024) dan Ibrahim Arief (mantan konsultan teknologi Kemendikbudristek).
Keempat tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah melalui UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, subsider Pasal 3 UU Tipikor.
Kasus ini menambah panjang daftar persoalan korupsi di sektor pendidikan yang seharusnya menjadi benteng utama pembangunan sumber daya manusia Indonesia.
Baca Juga: Skandal Beras Oplosan Rugikan Rakyat, Perindo Desak Sanksi Tegas untuk Pelaku!
Dengan makin jelasnya peran para aktor dalam skandal ini, publik menunggu langkah tegas Kejagung dalam menuntaskan proses hukum hingga ke akar-akarnya.
Langkah ini diharapkan bukan hanya soal penegakan hukum, tapi juga menjadi pelajaran penting agar program digitalisasi pendidikan tak lagi dimanfaatkan segelintir oknum demi keuntungan pribadi.***