HUKAMANEWS – Saya cuma mikir… gimana kalau itu adik saya sendiri,” ucap Agam pelan. Suaranya nyaris tenggelam oleh kenangan, tapi kalimat itu cukup untuk menggambarkan seluruh motivasinya.
Saat video drone yang memperlihatkan tubuh Juliana di antara tebing membuat kasus ini viral, Agam yang tengah berada di Jakarta langsung gelisah.
“Saya lihat unggahan drone. Awalnya saya kira masih hidup. Tapi malamnya kabar simpang siur. Saya tanya SAR, belum ketemu. Akhirnya saya bilang, ayo kita pulang, kita naik,” ceritanya.
Agam kembali ke Lombok tanpa banyak persiapan. Semua barangnya tertinggal. Ia naik pesawat hanya dengan baju di badan dan alat rescue di tangan. Tak sempat istirahat, ia langsung koordinasi dan mendaki lewat jalur Torean. Medan yang curam, licin, dan hujan tak menyurutkan langkahnya. Di titik itulah ia melihat langsung jenazah Juliana, tergeletak diam namun utuh.
“Wajahnya tenang. Kami bungkus pakai kantong jenazah. Kami angkat pelan-pelan. Saya cuma mikir, jangan sampai tubuhnya rusak. Jangan jatuh lebih dalam,” ucapnya lagi.
Evakuasi berlangsung perlahan dan nyaris tanpa suara. Tangis baru pecah saat tubuh Juliana sampai ke atas. Bukan karena kelelahan, tapi karena lega, seorang manusia yang hilang di gunung akhirnya bisa pulang. Bagi Agam, itu bukan sekadar evakuasi. Itu adalah misi kemanusiaan dan sekaligus martabat bangsa.
“Kalau kita gagal evakuasi, negara ini bisa dicela. Di mana tim rescuenya? Di mana kita sebagai manusia? Apapun caranya, korban harus ditemukan," kata Agam, terus membakar semangat tim di medan yang ekstrem.
Di Rinjani, Agam menemukan rumah. Gunung ini bukan sekadar lanskap. Ia adalah semesta kecil yang merangkul.
“Rinjani itu lengkap.Gunung-gunung lain juga bagus, tapi Rinjani beda. Kalau di Jawa ada pasir vulkanik, Rinjani juga ada. Ada juga pemandian air panas. Kalau mau hutan tropis seperti di Sulawesi, Rinjani juga punya. Spot-spot mirip Toraja juga ada.”
Agam menyatakan bahwa ia telah ratusan kali mendaki salah satu gunung berapi tertinggi di Indonesia tersebut.