nasional

Malam 1 Suro Jatuh Jumat Legi, Ini Arti Mistis di Baliknya yang Bikin Banyak Orang Pilih Tirakat Daripada Pesta

Kamis, 26 Juni 2025 | 10:00 WIB
Ilustrasi malam 1 Suro selalu dianggap keramat oleh masyarakat Jawa. Ini fakta budaya dan sejarah yang jarang dibahas. (HukamaNews.com / Instagram @dispersip_surakarta)

HUKAMANEWS - Malam 1 Suro tidak hanya menandai awal tahun dalam kalender Jawa-Islam.

Lebih dari itu, malam ini punya makna khusus yang begitu dalam bagi masyarakat Jawa.

Kamu mungkin sering mendengar bahwa malam ini terasa mistis, sakral, bahkan dipercaya sebagai waktu yang "tidak biasa".

Tapi tahukah kamu, sejarah dan filosofi di baliknya ternyata kaya akan nilai spiritual dan budaya yang telah dirawat sejak ratusan tahun lalu?

Baca Juga: PT Pintu Tegaskan Tak Terlibat Dugaan Korupsi ASDP, Siap Dukung Langkah KPK

Pada tahun ini, malam 1 Suro diperingati pada Kamis malam, 26 Juni 2025, dimulai selepas waktu Maghrib sekitar pukul 18.00 WIB.

Adapun tanggal 1 Suro bertepatan dengan hari Jumat, 27 Juni 2025, yang juga merupakan 1 Muharram 1447 Hijriah dan ditetapkan sebagai hari libur nasional dalam rangka perayaan Tahun Baru Islam.

Menariknya, istilah “Suro” berasal dari kata “Asyura” dalam bahasa Arab yang berarti sepuluh.

Istilah ini mengacu pada tanggal 10 di bulan Muharram dalam kalender Hijriah, yang memiliki nilai penting dalam ajaran Islam.

Namun, seiring waktu dan pengaruh budaya lokal, kata Asyura melebur dalam lidah Jawa menjadi “Suro”, lalu diangkat menjadi nama bulan pertama dalam kalender Jawa.

Baca Juga: Sidang Ekstradisi Paulus Tannos Makin Panas, Saksi Misterius Disiapkan Hadang Pemulangan ke Indonesia!

Sejarah peringatan malam 1 Suro tidak lepas dari peran Sultan Agung Hanyokrokusumo, Raja Mataram Islam.

Pada 8 Juli 1633, Sultan Agung memperkenalkan kalender Jawa-Islam sebagai bentuk akulturasi dua sistem penanggalan: kalender Saka dari tradisi Hindu, dan kalender Hijriah dari tradisi Islam.

Tujuannya bukan sekadar administratif, tapi juga sebagai strategi budaya untuk menyatukan masyarakat Jawa yang terbagi dalam dua golongan utama: santri dan abangan.

Dengan kebijakan itu, Sultan Agung tidak hanya menyusun ulang waktu, tapi juga menciptakan jembatan spiritual antara Islam dan kejawen. Sebuah keputusan besar yang masih terasa dampaknya hingga sekarang.

Halaman:

Tags

Terkini