"Kalau dalam konsep negara kita, yang punya kedaulatan atas wilayah itu adalah pemerintah pusat, NKRI. Pemerintah daerah itu punya wilayah administrasi," jelasnya.
Sengketa ini mencuat setelah terbitnya Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang menetapkan empat pulau—Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Ketek, dan Pulau Mangkir Gadang, sebagai bagian dari wilayah administratif Provinsi Sumatera Utara.
Keempat pulau tersebut berada di kawasan Kabupaten Tapanuli Tengah, yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Aceh Singkil.
Penetapan ini memicu reaksi dari Pemerintah Provinsi Aceh, yang mengklaim bahwa pulau-pulau itu memiliki hubungan historis dan administratif yang kuat dengan wilayahnya.
Baca Juga: Terbukti Bunuh Jurnalis, Jumran Dapat Vonis Bui Seumur Hidup Plus Dipecat Sebagai Anggota TNI
Hasan menyebutkan bahwa dalam konteks internal bangsa, penyelesaian perbedaan semacam ini harus mengedepankan prinsip persatuan.
"Bahasanya kita sama-sama anak bangsa. Kita tidak sedang bersengketa dengan negara lain. Jadi penyelesaiannya pun harus dengan cara yang dingin dan dialogis," ujarnya.
Ia juga mengungkapkan bahwa Presiden membuka ruang untuk dialog antara Gubernur Aceh dan Gubernur Sumatera Utara.
Langkah itu akan menjadi bagian dari proses penentuan kebijakan akhir yang akan ditetapkan langsung oleh Presiden.
Menurut Hasan, berbagai aspirasi masyarakat, faktor historis, dan catatan administratif dari masa lalu akan menjadi pertimbangan penting dalam menentukan putusan final.
Baca Juga: Nilai Ekspor Air Minuman Tanpa Alkohol Naik, Indonesia Masih Butuh Inovasi Teknologi
Polemik ini sejatinya bukan hal baru.
Sejak tahun 1928, perbedaan pandangan mengenai batas wilayah di kawasan ini telah beberapa kali mencuat ke permukaan.
Namun, baru kali ini persoalan tersebut mendapat perhatian langsung dari kepala negara.
Sejumlah pihak telah menyambut baik langkah Presiden.