Ia menyampaikan bahwa proses verifikasi lapangan sedang berlangsung dan keputusan akhir akan diambil setelah hasil evaluasi keluar.
"Untuk sementara, kegiatan produksinya kami hentikan sampai hasil verifikasi dari tim kami selesai," jelas Bahlil dalam konferensi pers di Kantor Kementerian ESDM di Jakarta.
Namun, sejumlah pihak menilai langkah tersebut belum menyentuh akar persoalan.
Greenpeace, melalui juru kampanye hutannya Iqbal Damanik, menilai bahwa penghentian sementara tidak cukup.
Ia mendorong evaluasi menyeluruh terhadap proses industrialisasi nikel yang belakangan tumbuh masif di Indonesia, termasuk dampaknya terhadap kawasan sensitif seperti Raja Ampat.
Desakan pencabutan IUP ini mencerminkan konflik kepentingan yang kerap terjadi antara eksploitasi sumber daya alam dan perlindungan lingkungan.
DPR meminta agar pemerintah tidak sekadar melihat dari sisi ekonomi, tapi juga mempertimbangkan dampak ekologis dan sosial budaya yang lebih luas.
Publik kini menantikan apakah Menteri Bahlil akan menuruti permintaan DPR dengan mencabut IUP secara permanen, atau tetap menunggu hasil verifikasi teknis di lapangan.
Jika pemerintah serius menerapkan prinsip pembangunan berkelanjutan, maka keputusan ini akan menjadi ujian penting dalam menunjukkan komitmen terhadap perlindungan lingkungan, hak masyarakat adat, dan masa depan pariwisata Indonesia.***