Menurut Keenan, baru pada 2024 manajemen Vidi datang menawarkan uang sebesar Rp50 juta sebagai bentuk apresiasi.
Namun, tawaran itu ditolak karena dianggap tidak sepadan dengan hak yang seharusnya diterima dan tidak mencerminkan penghargaan atas karya seni yang telah diciptakannya.
"Saya tidak mau menerima uang itu karena caranya tidak tepat. Ini bukan sekadar soal nominal, tapi soal penghargaan atas hak cipta," kata Keenan dalam wawancara terpisah.
Pihak Keenan menilai bahwa penyalahgunaan metadata dan pencantuman nama yang tidak sesuai sebagai pencipta lagu bisa membuka celah pelanggaran yang merugikan secara hukum dan moral.
Kondisi ini juga menunjukkan pentingnya transparansi dan komunikasi yang adil antara musisi, label, dan penyanyi.
Baca Juga: Resmi Jadi Presiden Korea Selatan, Lee Jae-myung Bawa Angin Segar Usai Kekacauan Politik
Di sisi lain, hingga kini belum ada pernyataan resmi dari Vidi Aldiano terkait tuntutan tersebut.
Melalui unggahan media sosial, Vidi hanya menyampaikan bahwa saat ini ia tengah fokus menjaga kondisi kesehatannya dan belum siap berbicara banyak soal polemik yang sedang berlangsung.
Unggahan tersebut memicu reaksi beragam dari publik, terutama dari para penggemar musik yang mendukung penyelesaian masalah ini secara adil dan terbuka.
Sementara itu, lagu "Nuansa Bening" versi Vidi Aldiano kini telah ditarik dari platform Spotify.
Namun, jejak digital dan rekam polemiknya masih meninggalkan pertanyaan besar mengenai sistem hak cipta di era digital dan bagaimana para pelaku industri harus saling menghormati karya satu sama lain.
Kasus ini menjadi catatan penting bagi seluruh pelaku industri hiburan agar lebih berhati-hati dalam mendistribusikan ulang karya orang lain.
Kesalahan dalam pencantuman metadata bukan hanya urusan teknis, tapi bisa berdampak hukum dan reputasi.
Lebih dari itu, kejadian ini juga menjadi momen reflektif untuk memperkuat sistem royalti yang transparan, adil, dan saling menghargai peran masing-masing dalam proses kreatif.