Tindakan seperti ini mengancam integritas lembaga penegak hukum secara keseluruhan.
Publik jadi bertanya-tanya, sejauh mana proses hukum bisa diandalkan jika petinggi lembaga antikorupsi sendiri diduga bermain dalam skenario pengaburan fakta?
Kasus Firli juga mengingatkan pada insiden besar dalam kasus kematian Brigadir J, di mana sejumlah perwira tinggi kepolisian terbukti menghalangi jalannya penyidikan.
Fenomena ini menunjukkan bahwa obstruction of justice bukan sekadar istilah hukum, tetapi mencerminkan penyakit serius dalam sistem hukum yang belum sepenuhnya bersih.
Firli sebelumnya juga telah dijerat dalam kasus dugaan pemerasan terhadap mantan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo.
Dengan banyaknya dugaan pelanggaran, publik menaruh harapan agar seluruh proses hukum terhadap Firli dijalankan dengan transparan, akuntabel, dan tanpa intervensi kekuasaan.
Hal ini penting bukan hanya untuk menegakkan keadilan, tapi juga untuk memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penegak hukum yang kerap dikritik karena minim integritas.
Lebih dari sekadar proses hukum terhadap individu, kasus ini menjadi momen refleksi penting tentang bagaimana sistem hukum Indonesia menanggapi ancaman dari dalam tubuhnya sendiri.
Baca Juga: Erupsi Kilat Gunung Marapi Gegerkan Sumbar, Dentuman Terdengar Jauh, Ini Fakta Letusan Terbarunya
Jika obstruction of justice tidak ditindak tegas, maka keadilan akan terus dikhianati oleh mereka yang seharusnya menjaganya.
Kini, mata publik tertuju pada aparat penegak hukum: apakah mereka akan berani membuktikan bahwa hukum tetap berdiri di atas semua kepentingan?***