Ia mengungkapkan rangkaian kegiatan sudah diawali sejak Minggu 11 Mei 2025 malam dengan menyalakan lilin. Selain tiga langkah Namaskara, rangkaian kegiatan bakal dilanjutkan dengan kirab dari Candi Sojiwan ke Plaosan. Selain itu, ada kegiatan doa serta pesan Waisak.
Sementara itu, ribuan umat Buddha yang mengikuti proses tiga langkah Namaskara dalam rangkaian Waisak di Candi Sojiwan, Klaten, itu berasal dari berbagai wilayah seperti Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah hingga Jawa Timur. Beberapa menggunakan pakaian adat seperti rombongan dari Jawa Timur yang mengenakan beskap.
Salah satu umat asal Kediri, Jawa Timur, Aris Bayu Nurjati, 43, mengungkapkan 200-an umat dari Kediri yang sudah datang sejak Minggu. Mereka mengenakan pakaian adat Jawa sebagai bentuk identitas asal mereka.
“Harapannya dari Waisak ini kami saling menghormati antarumat, saling mendukung agar semua jalan damai, lancar serta selamat. Harapannya toleransi terus terjalin,” kata Aris.
Candi Sojiwan untuk pertama kalinya dilaporkan pada tahun 1813 oleh Kolonel Colin Mackenzie, seorang utusan Raffles, yang kala itu tengah mendata informasi kepurbakalaan di Jawa. Ia yang sedang meneliti peninggalan-peninggalan kuno di sekitar daerah Prambanan, menemukan sisa-sisa tembok yang mengelilingi candi ini.
Corak agama Buddha terlihat jelas pada bentuk atap yang terdapat jajaran stupa. Atap Candi Sojiwan bertingkat-tingkat bersusun tiga, di mana setiap tingkatannya terdapat stupa-stupa dan bagian puncaknya dimahkotai satu stupa yang besar. Dinding candi ini dulunya diduga berhiaskan sulur-sulur, tetapi saat ini batu-batu aslinya sudah banyak yang hilang.
Salah satu ragam hias paling menarik dari Candi Sojiwan terdapat pada bagian kakinya, yang terukir relief fabel kisah satwa Jataka dan Awadana. Cerita tersebut merupakan kisah keagamaan Buddha yang mengandung pesan moral untuk diteladani.
Seperti Relief Seorang Prajurit dan Pedagang, yang memiliki makna kesetiaan menjalin hubungan persahabatan dalam hal tolong-menolong. Termasuk Relief Dua Ekor Angsa Menerbangkan Kura-Kura, memiliki makna bahwa sepatutnya mengindahkan peraturan yang ada sehingga tidak ada hal buruk yang menimpa.***