HUKAMANEWS - Penangkapan seorang mahasiswi Institut Teknologi Bandung (ITB) baru-baru ini memicu perbincangan hangat di publik.
Mahasiswi berinisial SSS itu ditangkap oleh pihak kepolisian karena mengunggah meme yang menggambarkan Presiden Prabowo Subianto dan Presiden Joko Widodo dalam pose yang dianggap tidak senonoh.
Tindakan aparat ini menuai kecaman dari banyak kalangan, terutama para ahli hukum dan kelompok masyarakat sipil.
Banyak yang menilai bahwa langkah tersebut bukan hanya berlebihan, tetapi juga mengancam kebebasan berekspresi yang dilindungi konstitusi.
Apalagi, mahasiswa merupakan kelompok intelektual muda yang seharusnya didorong untuk menyampaikan pandangan secara terbuka, bukan dibungkam dengan pendekatan represif.
Di tengah kontroversi ini, muncul suara tegas dari kalangan akademisi untuk meninjau ulang cara penegakan hukum terhadap ekspresi publik di era digital.
Abdul Fickar Hadjar, seorang pakar hukum pidana dan perdata dari Universitas Trisakti, secara terbuka meminta Presiden Prabowo untuk turun tangan.
Ia menyarankan agar kepala negara menegur aparat kepolisian atas tindakan penangkapan tersebut.
Menurutnya, pemimpin negara semestinya menjadi simbol keterbukaan terhadap kritik, bukan justru diperlakukan seolah sosok pribadi yang tidak bisa disentuh oleh satire atau ekspresi publik.
Baca Juga: Panglima TNI Turunkan Pasukan ke Kejaksaan, Koalisi Sipil Bereaksi Keras: Ini Bukan Tugas Militer!
Fickar menjelaskan bahwa presiden, dalam konteks demokrasi, bukan lagi entitas privat melainkan figur publik yang menyandang institusi negara.
Oleh sebab itu, segala bentuk kritik, termasuk dalam bentuk meme sekalipun, seharusnya dipandang sebagai bagian dari dinamika demokrasi.
Penangkapan SSS terjadi pada 6 Mei 2025, di sebuah indekos di kawasan Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat.
Ia diduga melanggar norma kesusilaan setelah mengunggah meme yang menggambarkan dua pemimpin tertinggi negara berciuman.