Menariknya, sebelum dikenal sebagai hari peringatan buruh, tanggal 1 Mei di Eropa dulu dirayakan sebagai festival musim semi.
Tradisinya cukup meriah, seperti menari mengelilingi tiang Maypole dan menghias bunga sebagai simbol kehidupan baru.
Namun, seiring meningkatnya kesadaran terhadap isu buruh, makna May Day mengalami transformasi menjadi perayaan perjuangan hak-hak pekerja.
Perubahan ini menandai pergeseran dari simbol alam menuju simbol sosial, yang jauh lebih berakar pada konteks ketidakadilan ekonomi.
Baca Juga: Ini Serius, Dedi Mulyadi Siap Kirim Siswa Bermasalah ke Barak TNI Polri Per 2 Mei
May Day Masa Kini: Dari Tuntutan Upah Hingga Isu Keadilan Sosial
Hingga hari ini, May Day masih menjadi wadah penting bagi pekerja di berbagai negara untuk menyuarakan tuntutan dan ketidakpuasan mereka.
Isu yang diangkat pun beragam, mulai dari permintaan upah layak, keamanan kerja, perlindungan hukum, hingga protes terhadap privatisasi dan eksploitasi tenaga kerja.
Di tengah perubahan global yang cepat, tuntutan buruh kini juga melibatkan isu-isu kontemporer seperti digitalisasi pekerjaan, fleksibilitas kontrak, dan perlindungan pekerja gig economy.
Demonstrasi yang dilakukan setiap 1 Mei bukan sekadar bentuk protes, tapi juga ajakan untuk membangun sistem kerja yang lebih adil dan manusiawi.
Baca Juga: Ketimbang Bermain Medsos, Abdul Mu'ti Ajak Guru Fokus Pembelajaran Deep Learning
May Day di Tengah Ketidakpastian Global
Perayaan May Day di berbagai negara kerap mencerminkan kondisi sosial-politik yang sedang berlangsung.
Misalnya di tahun ini, sejumlah demonstrasi turut membawa isu-isu geopolitik seperti solidaritas terhadap Palestina, krisis biaya hidup, hingga perlindungan hak pekerja migran.
Hal ini menunjukkan bahwa May Day tak pernah kehilangan relevansi, bahkan justru menjadi panggung untuk menyuarakan berbagai bentuk ketimpangan.