“Kalau dibandingkan dengan 1998, situasinya jauh berbeda. Saat itu, rupiah turun secara drastis dari di bawah Rp 10.000 langsung melewati Rp 16.000 dalam waktu singkat. Sekarang, pelemahan terjadi lebih terkendali dan bertahap,” ujar Solikin dalam Taklimat Media di Jakarta, Rabu (26/3/2025).
Ia juga menambahkan bahwa Indonesia kini memiliki cadangan devisa yang jauh lebih besar dibandingkan 1998.
Jika saat krisis moneter cadangan devisa hanya sekitar 20 miliar dolar AS, kini jumlahnya telah mencapai 154,5 miliar dolar AS per akhir Februari 2025.
Dengan kondisi ini, BI dan pemerintah memiliki lebih banyak instrumen untuk menjaga stabilitas ekonomi.
Baca Juga: Inovasi Valet Ride Polda Jawa Tengah, Dapat Acungan Jempol
Strategi Pemerintah dan BI dalam Menghadapi Tantangan Global
Selain menjaga stabilitas rupiah melalui kebijakan ekspor dan deregulasi, BI dan pemerintah juga terus mencermati perkembangan ekonomi global yang dapat memengaruhi perekonomian nasional.
Faktor eksternal seperti ketidakpastian ekonomi global, suku bunga bank sentral AS (The Fed), serta dinamika geopolitik menjadi perhatian utama.
“Krisis tidak hanya dipicu oleh faktor ekonomi, tetapi juga bisa berasal dari sektor lain seperti teknologi digital dan politik global. Oleh karena itu, pendekatan yang kita ambil harus terintegrasi,” tambah Solikin.
Dengan berbagai langkah yang telah disiapkan, pemerintah optimis dapat menjaga stabilitas ekonomi dan nilai tukar rupiah tetap dalam kondisi terkendali.
Meski tantangan global masih terus berkembang, strategi jangka panjang yang dijalankan diyakini akan memperkuat fundamental ekonomi Indonesia.***