HUKAMANEWS - Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) menuai perhatian publik dan memunculkan beragam spekulasi.
Perubahan terkait batas usia pensiun dan peran prajurit aktif dalam jabatan sipil menjadi topik utama.
Apakah revisi ini sekadar optimalisasi SDM militer, atau ada potensi kembalinya dwifungsi ABRI?
Perbandingan dengan praktik internasional menjadi penting untuk memahami arah kebijakan ini.
Usia Pensiun Diperpanjang: Regenerasi Terhambat atau Pemanfaatan SDM Optimal?
Salah satu poin utama revisi UU TNI adalah perpanjangan usia pensiun. Sebelumnya, perwira TNI pensiun pada usia 58 tahun, sedangkan bintara dan tamtama pada usia 53 tahun.
Revisi ini mengusulkan usia pensiun menjadi 60 tahun bagi perwira dan 58 tahun bagi bintara serta tamtama.
Kebijakan ini diklaim sebagai upaya optimalisasi SDM, tetapi juga menimbulkan kekhawatiran.
Dengan bertahannya personel senior lebih lama, regenerasi di tubuh militer berpotensi melambat.
Baca Juga: Menjaga Pohon, Menjaga Air, Kunci Kelestarian Hidup di Tengah Perubahan Iklim
Namun, di sisi lain, pengalaman prajurit senior dapat meningkatkan efektivitas dan stabilitas organisasi.
Dalam praktik internasional, batas usia pensiun militer berbeda-beda, tergantung kebutuhan dan kondisi masing-masing negara.
Prajurit Aktif di Jabatan Sipil: Ancaman Dwifungsi ABRI?
Perubahan signifikan lainnya adalah perluasan ruang bagi prajurit TNI aktif dalam jabatan sipil.