Dinas PUPR OKU pun tak luput dari skandal ini. Kepala Dinas PUPR OKU, Norpiansyah (NOP), yang kini telah ditetapkan sebagai tersangka, disebut aktif menawarkan sembilan proyek kepada pihak swasta.
Penawaran ini disertai komitmen ibalan sebesar 22 persen, dengan rincian 2 persen untuk Dinas PUPR dan 20 persen untuk DPRD.
“Saat itu Saudara NOP yang merupakan Pejabat Kepala Dinas PUPR menawarkan 9 proyek tersebut kepada Saudara MFZ (M Fauzi) dan Saudara ASS (Ahmad Sugeng Santoso) dengan commitment fee sebesar 22 persen,” tambah Setyo.
Skenario ini semakin mencurigakan ketika RAPBD akhirnya disahkan, di mana anggaran Dinas PUPR meningkat drastis dari Rp48 miliar menjadi Rp96 miliar.
Baca Juga: iPhone 16e Laris Manis Meski Dicemooh, Apa Rahasianya?
Kenaikan anggaran ini memperkuat dugaan bahwa ada kepentingan terselubung yang dimainkan dalam pembahasan APBD OKU 2025.
KPK menegaskan bahwa praktik semacam ini merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang yang mencederai kepercayaan publik.
Korupsi dalam bentuk jatah pokir ini tak hanya merugikan negara, tetapi juga menghambat pembangunan yang seharusnya dirasakan oleh masyarakat luas.
Dengan pengungkapan kasus ini, KPK berjanji akan terus memburu pihak-pihak yang terlibat, baik dari kalangan eksekutif maupun legislatif.
Langkah tegas akan diambil untuk memastikan tidak ada lagi ruang bagi praktik korupsi dalam pengelolaan keuangan daerah.
Baca Juga: Zakat Fitrah, Uang atau Beras? Jangan Sampai Salah Pilih!
Korupsi Pokir, Modus Lama yang Terus Berulang
Kasus ini bukan pertama kalinya DPRD terlibat dalam skandal jatah pokir.
Modus serupa sering terjadi di berbagai daerah, di mana legislator meminta bagian dari anggaran pembangunan sebagai bentuk ‘jatah’ politik.
Padahal, pokok pikiran anggota DPRD seharusnya bertujuan untuk menyalurkan aspirasi masyarakat, bukan justru menjadi ladang bancakan anggaran.