"Kami ajukan lagi praperadilan. Seharusnya sudah didaftarkan pada Jumat, tetapi jika belum, maka besok akan kami daftarkan. Kali ini, kami pisahkan permohonan antara perkara suap dan perkara obstruction of justice," jelas Maqdir.
Sebelumnya, pada Kamis, 13 Februari 2025, Hakim Tunggal PN Jakarta Selatan, Djuyamto, memutuskan untuk menolak permohonan praperadilan yang diajukan Hasto.
Dalam putusannya, hakim menyatakan bahwa permohonan yang diajukan tidak dapat diterima karena dua perkara pidana dijadikan satu permohonan, yang seharusnya diajukan secara terpisah.
Baca Juga: OnePlus 13R, Performa Flagship Harga Miring, Worth It atau Cuma Gimmick? Cek Faktanya di Sini!
"Menyatakan permohonan oleh pemohon kabur atau tidak jelas. Menyatakan permohonan praperadilan pemohon tidak dapat diterima," kata Djuyamto dalam persidangan.
Strategi hukum ini menimbulkan berbagai spekulasi. Beberapa pihak menilai bahwa langkah ini adalah bentuk perlawanan hukum yang sah untuk memastikan proses hukum yang adil.
Namun, di sisi lain, ada yang menganggapnya sebagai cara untuk mengulur waktu dan menghindari pemeriksaan oleh KPK.
Langkah Hasto ini bukan pertama kali dilakukan oleh tokoh politik yang tersangkut kasus hukum.
Beberapa kasus serupa menunjukkan bahwa praperadilan sering dijadikan sebagai strategi hukum guna menekan upaya penyidikan.
Baca Juga: Netanyahu Didemo Pemukim Zionis yang Khawatir Tak Sepakati Pemulangan Sandera dengan Hamas
Namun, efektivitasnya masih menjadi perdebatan, terutama mengingat KPK tetap memiliki wewenang untuk melanjutkan penyidikan meskipun ada upaya praperadilan.
Publik kini menantikan bagaimana putusan pengadilan terhadap permohonan praperadilan terbaru ini.
Apakah upaya ini akan membuahkan hasil bagi Hasto, atau justru semakin memperpanjang polemik hukum yang ada?
Yang jelas, kasus ini masih akan terus bergulir, dan sorotan terhadap langkah hukum Hasto semakin tajam.***