Solusi berbasis ekosistem juga sangat penting. Penanaman vegetasi alami seperti mangrove dan pandan laut bisa membantu meredam energi gelombang tsunami.
“Hutan pesisir adalah pelindung alami yang perlu kita jaga dan kembangkan,” ujar Rahma.
Untuk mitigasi non-struktural, edukasi masyarakat menjadi prioritas.
Pelatihan simulasi evakuasi, penyediaan jalur aman, dan peningkatan sistem peringatan dini adalah beberapa langkah yang harus diambil.
Rahma menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, institusi riset, dan masyarakat untuk menciptakan kesiapsiagaan yang lebih baik.
Jakarta sebagai kota dengan kepadatan penduduk tinggi menghadapi tantangan yang berbeda.
Tanah sedimen di wilayah ini berpotensi mengamplifikasi goncangan gempa.
Oleh karena itu, retrofitting atau penguatan struktur bangunan menjadi solusi penting untuk mengurangi risiko kerusakan.
“Retrofitting harus menjadi prioritas, terutama untuk bangunan di kawasan padat penduduk. Ini bisa menyelamatkan banyak nyawa,” kata Rahma.
Sementara itu, kawasan industri seperti Cilegon juga menghadapi risiko tambahan.
Potensi gempa dapat memicu kebakaran akibat kebocoran bahan kimia di pabrik-pabrik besar.
Penerapan standar keamanan yang ketat menjadi langkah mitigasi yang tidak bisa ditawar.
Penelitian BRIN juga menemukan bahwa gempa megathrust di selatan Jawa memiliki periode ulang sekitar 400-600 tahun.