Ia juga menerima Rp2,796 miliar melalui Rony Faslah dari beberapa pihak lainnya.
Selain itu, ada penerimaan Rp1,526 miliar dari PT Agro Makmur Chemindo, serta Rp1,17 miliar dari Rudi Hartono, pengurus operasional ekspedisi CV Berkah Jaya Mandiri.
Penerimaan lainnya melibatkan perusahaan ekspor impor, seperti PT Mutiara Globalindo, yang memberikan Rp345 juta, dan PT Putra Pulau Botong Perkasa, yang memberikan Rp952,25 juta melalui La Hardi.
Tidak hanya itu, ada pula transfer dari perusahaan importir rokok, alat berat, hingga tunai dan mata uang asing senilai 167.300 dolar AS dan 369.000 dolar Singapura.
KPK menegaskan bahwa pengusutan kasus ini akan terus dilakukan hingga seluruh jaringan yang terlibat dapat diungkap.
Pemanggilan saksi seperti Wirianto merupakan bagian dari upaya KPK untuk menggali informasi terkait aliran dana yang melibatkan Andhi Pramono.
“Kami tidak hanya berfokus pada pelaku utama, tetapi juga pihak-pihak yang diduga terlibat,” tambah Tessa.
Publik pun berharap agar KPK dapat menyelesaikan kasus ini secara transparan dan menyeluruh.
Upaya KPK dalam menyita aset-aset milik Andhi Pramono menjadi langkah awal untuk mengembalikan kerugian negara yang timbul akibat tindakannya.
Namun, kasus ini juga menjadi pengingat akan pentingnya pengawasan terhadap pejabat publik yang memiliki akses terhadap keuangan negara.
KPK diharapkan dapat terus memperkuat langkah-langkah preventif untuk mencegah korupsi serupa terjadi di masa depan.
Kasus Andhi Pramono menunjukkan bahwa praktik gratifikasi dan pencucian uang bisa terjadi di berbagai lini pemerintahan.