Di sisi lain, hanya PDI Perjuangan yang memilih berada di luar koalisi besar tersebut dengan mengusung pasangan Pramono Anung-Rano Karno.
Meski begitu, aliansi besar ini tak sepenuhnya menjamin kemenangan, terutama jika merujuk pada rendahnya tingkat partisipasi.
Pilpres dan Pilkada: Kontras Partisipasi
Tingkat partisipasi pemilih pada Pilpres 14 Februari 2024 tercatat lebih dari 80 persen, jauh melampaui angka partisipasi di Pilkada Jakarta.
Baca Juga: Sudah Retak dan Tak Mesra Lagi di PDI-P, Jokowi Sekeluarga Resmi Dipecat
Banyak pihak mempertanyakan, mengapa antusiasme yang tinggi saat Pilpres tak berlanjut dalam Pilkada?
Beberapa analis politik menyebut, strategi politik Mulyono yang dianggap terlalu dominan membuat pemilih merasa tak ada lagi pilihan yang relevan.
"Kalau semua partai mendukung satu kubu, publik jadi malas memilih karena merasa suara mereka tak lagi punya arti," ujar seorang pengamat yang enggan disebutkan namanya.
Fenomena golput ini menjadi refleksi dilematis demokrasi di Indonesia, khususnya di Jakarta yang kerap dianggap barometer politik nasional.
Apakah langkah konsolidasi parpol besar seperti ini akan terus berlanjut di masa depan? Atau, justru akan melahirkan gerakan balik arah dari pemilih yang kecewa?
Yang jelas, rendahnya partisipasi pemilih adalah tamparan keras bagi semua pihak yang terlibat dalam Pilkada Jakarta.
Ke depan, perlu ada evaluasi mendalam agar demokrasi di Indonesia tidak hanya menjadi formalitas tanpa makna.
Pilkada Jakarta 2024 mengajarkan kita, bahwa dominasi politik mungkin saja menjadi bumerang yang justru menjauhkan rakyat dari bilik suara.***