Dalih yang terkesan pembelaan terhadap perbuatan pelaku maupun menyalahkan korban seperti ini menjadi pola.
Kasus di Semarang sebetulnya juga dibarengi dengan ditembaknya Beni (46) oleh Anggota Brimob Polda Bangka Belitung yang menjaga kebun PT BPL.
Alasan kepolisian sama, polisi menembak Beni karena ada tindakan pidana yang dilakukan (mencuri buah sawit).
Kita juga bisa belajar dari kasus Fredy Sambo.
Baca Juga: Aipda RZ yang Tembak Siswa SMKN 4 Semarang Hingga Tewas Ditahan di Polda Jawa Tengah
Di awal, polisi menyatakan bahwa penembakan diawali oleh Brigadir Josua menembak Fredy Sambo, namun dalam investigasi ternyata sebaliknya.
Respon kepolisian dengan pola pembelaan ini menutup ruang investigasi dan menghambat penegakan hukum, di tengah rendahnya komitmen polisi dalam memproses penegakan hukum terhadap polisi yang melakukan penembakan.
Pasal 6 ayat (1) ICCPR yang telah diratifikasi dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 mengatur bahwa
"Setiap manusia memiliki hak untuk hidup. Hak ini harus dilindungi oleh hukum. Sehingga tidak seorangpun diperbolehkan untuk secara sewenang-wenang atau gegabah merampas hak hidup orang lain."
Di pasal selanjutnya masih dalam payung hukum yang sama, diatur bahwa tidak seorangpun dapat dibenarkan untuk menjadi subjek perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat.
Pasal 10, mengatur bahwa tidak seorang pun boleh ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang.
Ketiga pasal ini fundamental dan disebut sebagai non-derogable rights (hak yang tidak dapat dikurangi).
Sehingga, penembakan secara langsung atau penembakan atas dasar untuk mendapatkan pengakuan hingga berujung kematian merupakan pelanggaran terhadap pasal-pasal tersebut. Tidak peduli apapun alasan yang diutarakan.
Sebab hal tersebut akan melawan prinsip praduga tak bersalah (presumption of innocent) yang merupakan sendi dari Negara Hukum.
Tingginya penembakan berujung kematian ini menjadi masalah serius dalam hal regulasi.