Kasus ini berawal dari operasi tangkap tangan (OTT) KPK di Kalimantan Selatan pada Minggu, 6 Oktober 2024.
Dalam OTT tersebut, KPK mengamankan 17 orang serta barang bukti berupa uang tunai Rp12,1 miliar dan 500 dolar AS.
Menurut KPK, uang tersebut merupakan bagian dari fee 5 persen yang diduga diterima Sahbirin Noor terkait proyek di Dinas PUPR Pemprov Kalsel.
Tak hanya itu, KPK juga menetapkan tujuh orang sebagai tersangka, termasuk Sahbirin.
Mereka yang terjerat kasus ini mencakup pejabat tinggi Pemprov Kalsel, seperti Ahmad Solhan selaku Kepala Dinas PUPR dan Yulianti Erlynah, Kabid Cipta Karya sekaligus pejabat pembuat komitmen.
Kasus ini sempat memanas ketika Sahbirin Noor mengajukan praperadilan pada Selasa, 12 November 2024.
Hakim tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Afrizal Hady, memutuskan menerima sebagian permohonan tersebut.
Hakim menyatakan bahwa penetapan Sahbirin sebagai tersangka oleh KPK tidak sah karena dinilai melanggar prosedur.
Akibatnya, Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) atas nama Sahbirin dinyatakan batal.
Namun, KPK tidak tinggal diam. Meski kalah di praperadilan, mereka tetap melanjutkan proses hukum dan memanggil Sahbirin untuk memberikan keterangan.
Langkah tegas KPK ini menunjukkan bahwa tidak ada ruang bagi pelaku korupsi untuk bersembunyi. Namun, publik bertanya-tanya, apakah jemput paksa ini akan benar-benar terlaksana?
Jika Sahbirin tetap abai, KPK sepertinya siap mengambil tindakan. Drama hukum ini menjadi ujian penting bagi upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.