Pembubaran ini bukan hanya soal aksi kekerasan fisik, tetapi juga simbol dari melemahnya kebebasan sipil di Indonesia.
Kebebasan berekspresi, yang seharusnya menjadi hak dasar setiap warga negara, kini diancam oleh kelompok-kelompok tertentu dengan aksi premanisme yang didukung oleh ketidakberdayaan aparat keamanan.
Kronologi kejadian dimulai sejak pagi hari. Massa yang sudah berkumpul di depan Hotel Grand Kemang, mulai menggelar orasi dari atas mobil komando.
Pesan yang mereka sampaikan tidak jelas, namun kritikan terhadap narasumber dan dukungan terhadap pemerintahan Presiden Joko Widodo terdengar cukup dominan.
Saat diskusi hendak dimulai, situasi semakin tidak terkendali.
Sekelompok massa yang bertindak anarkis masuk ke dalam ruangan, memporak-porandakan panggung, merusak properti, dan mengancam peserta yang baru datang.
"Mereka bertindak brutal, merusak backdrop, tiang mikrofon, dan bahkan mengancam peserta yang hadir," jelas Din Syamsuddin, salah satu narasumber yang hadir di lokasi.
Apa yang lebih ironi, acara diskusi tersebut sebetulnya diadakan dengan tujuan mulia, yaitu mempererat silaturahmi kebangsaan antara diaspora Indonesia dan tokoh-tokoh nasional.
Namun, justru berakhir dengan kekacauan yang memalukan.
Yang lebih mengherankan, di tengah kekacauan tersebut, aparat kepolisian yang ada di lokasi hanya berdiri sebagai penonton.
Mereka sama sekali tidak berusaha untuk menghentikan atau menenangkan situasi.
Hal ini jelas memicu kemarahan banyak pihak, terutama para narasumber yang berharap polisi bisa bertindak lebih proaktif.
"Ini adalah cermin buruk dari demokrasi yang kita jalani sekarang," kritik Din Syamsuddin.