Memang, tindakan aparat ini patut dipertanyakan. Di negara yang mengaku demokratis, peristiwa seperti ini jelas mempermalukan wajah demokrasi itu sendiri.
Jika di sebuah hotel elit di Jakarta saja massa bisa seenaknya bertindak anarkis, bagaimana nasib kebebasan berekspresi di daerah-daerah lain?
Din Syamsuddin tak segan mengkritik keras tindakan anarkis yang dilakukan oleh massa serta ketiadaan sikap dari pihak berwajib.
Ia menilai insiden ini sebagai salah satu bukti dari praktik-praktik demokrasi yang buruk di bawah pemerintahan saat ini.
“Ini mencerminkan praktik buruk demokrasi di bawah rezim Presiden Jokowi. Kami berharap di masa mendatang, di bawah Presiden Prabowo Subianto, hal seperti ini tidak terulang,” ujar Din dengan tegas.
Pernyataan Din ini tentu menjadi sorotan tersendiri, mengingat bagaimana ia secara langsung menyalahkan rezim Jokowi atas situasi ini.
Apakah insiden ini benar-benar akibat dari kebijakan yang kurang tegas, atau hanya karena aparat yang kurang tanggap di lapangan?
Atau mungkin, ini justru adalah simbol dari semakin besarnya tekanan pada kebebasan berbicara di negeri ini?
Diskusi di Kemang yang berujung ricuh ini tentu menimbulkan pertanyaan lebih luas tentang masa depan demokrasi di Indonesia.
Di satu sisi, kita ingin melihat kebebasan berpendapat tetap terjaga dan dihormati. Namun di sisi lain, kejadian seperti ini bisa menjadi preseden buruk.
Bayangkan, jika kelompok-kelompok yang tidak setuju dengan sebuah pandangan politik bisa dengan mudah membubarkan diskusi hanya dengan aksi brutal, apa yang akan terjadi pada kebebasan berpendapat di masa depan?
Yang jelas, tindakan brutal seperti ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Demokrasi bukan sekadar soal siapa yang berkuasa, melainkan soal bagaimana semua pihak bisa berdiskusi, berdebat, dan mengutarakan pandangan mereka tanpa rasa takut.