Tuntutan jaksa dalam kasus ini sebenarnya lebih berat, yakni 5 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan.
Namun, hakim memutuskan vonis yang jauh lebih ringan dengan alasan terdakwa berperilaku sopan selama persidangan, tidak mempersulit jalannya persidangan, dan belum pernah dihukum sebelumnya.
Achsanul terbukti melanggar dakwaan alternatif ketiga penuntut umum, yaitu Pasal 11 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.
Baca Juga: Saat Anak Bersikukuh Pilih Memelihara Burung Hantu, Apa Yang Harus Orangtua Lakukan
Pasal tersebut berbunyi, "Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun." Artinya, ada peluang bagi hakim untuk memberikan vonis ringan.
Kritik Terhadap Vonis Hakim
Maria mencatat ada dua masalah utama dalam vonis ini: pertama, jaksa yang ragu menerapkan pasal dengan hukuman maksimal; kedua, hakim yang tidak mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat.
"Hakim bisa saja memberikan vonis lebih berat dari tuntutan jaksa dengan menggunakan pasal alternatif lain atau akumulasi pasal yang dikenakan pada Achsanul.
Hal itu sudah diatur dalam UU No.
4 Tahun 2024 tentang kekuasaan kehakiman," jelasnya.
Maria menekankan pentingnya keberpihakan hakim dalam pemberantasan korupsi dengan memberikan hukuman berat sebagai efek jera.
"Sekarang tinggal mau atau tidak hakim melakukannya. Berpihak atau tidak pada upaya pemberantasan korupsi dengan memberikan hukuman berat sebagai efek jera," tambahnya.
Penurunan Beratnya Vonis Korupsi
Maria juga menyampaikan keprihatinannya terhadap tren vonis kasus korupsi yang semakin ringan.