Dalam konteks perusahaan yang menyumbang Rp79 triliun ke kas negara pada 2024, tanggung jawab moral terhadap keselamatan pekerja seharusnya menjadi standar utama, bukan catatan kaki.
Nama-nama seperti Irwan, Wigih Hartono, Victor Manuel Bastida Ballesteros, Holong Gembira Silaban, Dadang Hermanto, Zaverius Magai, dan Balisang Telile kini menjadi simbol pengorbanan di dunia tambang.
Mereka adalah bagian dari 5.000 pekerja tambang bawah tanah Freeport—orang-orang yang setiap hari masuk ke perut bumi tanpa jaminan pasti akan kembali.
Di Timika, suasana duka menyelimuti rumah para korban. Keluarga hanya berharap perusahaan dan pemerintah benar-benar belajar dari tragedi ini, agar tak ada lagi pekerja yang “mati dalam diam” di bawah tanah.
Tragedi Freeport bukan sekadar kecelakaan kerja, tapi alarm kemanusiaan bagi seluruh industri ekstraktif di Indonesia.
Baca Juga: Jalan Terjal Mengembalikan Akal Sehat Kekuasaan
Kesejahteraan dan keselamatan pekerja harus kembali menjadi pusat perhatian, bukan sekadar pelengkap laporan produksi.
Setiap helm dan sepatu boots di tambang mewakili satu keluarga yang menunggu di rumah.
Dan setiap nyawa yang hilang, seharusnya menjadi alasan kuat bagi perusahaan dan negara untuk memastikan tragedi seperti ini tidak pernah terulang lagi.***
Artikel Terkait
Tambang, Oligarki, dan Perlawanan Rakyat: Wajah Buram Ekonomi Politik SDA
Presiden Prabowo Ultimatum Jenderal Beking Tambang Ilegal: Tak Ada Ampun, Kerugian Negara Capai Rp300 Triliun
KPK Jemput Paksa Rudy Ong! Pengusaha Tambang yang Resmi Ditahan Gegara Dugaan Suap Izin Pertambangan Kaltim
Longsor di Tambang Freeport Papua, 7 Pekerja Terjebak, Evakuasi Balapan dengan Waktu
Sektor Tambang Terancam Mandek! DPR Desak Pemerintah Segera Keluarkan PP UU Minerba