Artinya, beban kerja dan masa pengabdian jauh lebih panjang dibanding anggota DPR. Namun ironisnya, fasilitas pensiun DPR justru lebih ringan syaratnya.
Kondisi inilah yang disebut para pemohon sebagai bentuk ketidakadilan yang membebani rakyat melalui APBN.
Beban APBN dan Suara Publik
Perhitungan pemohon menunjukkan bahwa selama lebih dari empat dekade, negara sudah mengeluarkan ratusan miliar rupiah untuk membayar pensiun DPR.
Di tengah kondisi fiskal yang menantang, beban itu dinilai tidak sebanding dengan manfaat publik.
Isu ini kerap memantik perbincangan di ruang publik, terutama di media sosial. Banyak warganet yang mempertanyakan logika pemberian hak pensiun seumur hidup bagi anggota dewan, sementara rakyat pekerja harus berjuang puluhan tahun untuk memenuhi syarat jaminan hari tua.
Di Bandung, misalnya, sejumlah akademisi hukum dari universitas lokal menilai gugatan ini bisa membuka pintu koreksi terhadap privilese DPR.
“Ini momentum penting agar skema pensiun pejabat publik ditata ulang dengan lebih adil,” kata seorang dosen hukum tata negara Universitas Padjadjaran saat dihubungi.
Tuntutan Gugatan ke MK
Dalam petitumnya, para pemohon meminta agar MK:
Baca Juga: Jadwal Pencairan BSU Oktober 2025, Begini Cara Cek Status Penerima Rp600 Ribu
- Menyatakan pasal-pasal terkait pensiun DPR dalam UU 12/1980 bertentangan dengan UUD 1945.
- Menegaskan bahwa status DPR tidak termasuk dalam kategori Lembaga Tinggi Negara yang berhak atas pensiun.
- Menghapus ketentuan pensiun bagi anggota DPR agar tidak lagi membebani APBN.
Artikel Terkait
Hakim MK Sentil Hasto soal Gugatan UU Tipikor: Kalau DPR Setuju, Kenapa Ribut ke MK?
Curhat Mahfud MD Usai Cucunya Keracunan MBG: Bukan Soal Angka, Ini Nyawa Manusia!
Kisah Dramatis Evakuasi Santri Ponpes Al Khoziny, Jeritan Santri Terdengar dari Balik Reruntuhan
5 Fakta Terkini Insiden Kebakaran pada Hunian Pekerja IKN di Kaltim
Kebakaran Hebat Hantam Hunian Pekerja Konstruksi IKN di Kaltim, 700 Pekerja Direlokasi, Proyek Tetap Jalan