Sebuah studi yang terbit di Geophysical Research Letters (2019) mengungkap bahwa tingkat kecerahan bulan saat gerhana dapat menjadi indikator dampak letusan gunung berapi terhadap iklim global.
Bahkan, NASA memanfaatkan momen ini untuk menguji metode transmission spectroscopy, yang kelak digunakan dalam pencarian planet layak huni di luar tata surya.
Refleksi: Langit yang Selalu Konsisten
Fenomena kosmik seperti Blood Moon bukan sekadar tontonan, tapi juga cermin bagi manusia. Alam semesta berjalan dengan keteraturan, tanpa peduli pada perdebatan dan perbedaan pandangan di bumi.
Di berbagai belahan dunia, orang akan melihat bulan merah yang sama, pada waktu yang sama. Ada rasa kagum, takut, dan tak berdaya sekaligus, ketika manusia menyadari betapa kecilnya diri di hadapan jagat raya.
Gerhana bulan total 7–8 September 2025 akan menjadi puncak atraksi langit tahun ini. Bagi masyarakat Indonesia, momen ini bisa dinikmati tanpa teleskop khusus, cukup dengan mata telanjang dari halaman rumah.
Fenomena ini tidak hanya mengajarkan tentang presisi sains, tapi juga memberi ruang bagi refleksi budaya dan spiritual.
Jika bulan, matahari, dan bumi taat pada orbitnya, mungkin manusia pun bisa belajar untuk lebih taat pada orbit etikanya sendiri.***
Artikel Terkait
Jakarta Matikan Lampu Jalan Mulai Esok Jumat, Memperingati Hari Bumi 2025
Kali Ini Rocky Gerung Galang Kampanye Selamatkan Bumi di Jambore Karhutla 2025 Siak Provinsi Riau
Seribu Bibit Pohon Ditanam Untuk Pertahankan Keberadaan Tiga Mata Air di Kabupaten Purbalingga Jawa Tengah
Tak Ada Lagi Harimau Sumatera di Taman Rimba Riau, Si Uni Jadi
Waspada! Prediksi Suhu Bumi 2100 Bisa Naik Drastis 2,7 Derajat, Ini Dampak Mengejutkan yang Bakal Dirasakan