Seluruh proses berlangsung dalam isolasi penuh dan penuh kehati-hatian, mencerminkan tradisi Vatikan yang sudah mengakar selama berabad-abad.
Pertanyaannya sekarang, apakah Gereja tidak menyadari peran penting perempuan dalam kehidupan religius dan komunitas keagamaan?
Tentu saja menyadari.
Banyak perempuan yang memegang peranan vital dalam aktivitas gereja, termasuk sebagai biarawati, pengelola pendidikan Katolik, hingga pekerja sosial dalam misi kemanusiaan.
Namun, ketika bicara soal tahbisan suci dan struktur kepemimpinan, batasan doktrinal itu tetap tidak berubah.
Baca Juga: Robert Prevost Resmi Jadi Paus Leo XIV, Inilah Langkah Awal dan Arah Kepemimpinannya
Sejumlah teolog dan umat Katolik progresif sebenarnya telah lama mendorong agar Gereja membuka diri terhadap tahbisan perempuan.
Alasannya, demi mencerminkan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan yang sejalan dengan perkembangan zaman.
Namun, kenyataannya, belum ada indikasi bahwa Vatikan akan mempertimbangkan wacana tersebut dalam waktu dekat.
Penting untuk dipahami bahwa ketentuan ini bukan semata hasil diskriminasi berbasis gender, melainkan bagian dari struktur teologi yang dianggap sakral dan tak bisa diubah begitu saja.
Setiap perubahan dalam ranah ini harus melalui konsili ekumenis, yakni pertemuan seluruh uskup dunia yang jarang sekali terjadi.
Baca Juga: Uskup Belgia Sambut Hangat Paus Leo XIV, Siap Melangkah Bersama Pemimpin Baru Gereja Katolik
Dengan kata lain, ini bukan soal keputusan satu orang atau satu Paus, melainkan soal refleksi global dalam tubuh Gereja itu sendiri.
Maka, ketika publik bertanya mengapa perempuan tak bisa jadi Paus, jawabannya tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang, tafsir teologis, dan struktur kekuasaan dalam Gereja Katolik itu sendiri.
Memang, semangat zaman mendorong perubahan, tapi perubahan dalam gereja, apalagi dalam hal sefundamental ini, memerlukan proses yang jauh lebih dalam dan kompleks.