Meski kesetaraan gender menjadi narasi utama di banyak institusi dunia, Gereja Katolik berjalan dengan logika yang berbeda.
Tradisinya bersandar pada tafsir yang konservatif terhadap Alkitab dan hukum gereja, dan sejauh ini, belum ada celah yang memungkinkan perempuan duduk di takhta Santo Petrus.
Namun begitu, diskusi tetap berjalan.
Bahkan, beberapa lembaga Katolik dan akademisi teologi mulai membuka ruang-ruang dialog mengenai masa depan peran perempuan dalam Gereja.
Diskusi ini penting, bukan sekadar untuk membahas kemungkinan menjadi Paus, tapi juga untuk mengevaluasi representasi perempuan dalam struktur gerejawi secara lebih luas.
Kesimpulannya, meski dunia bergerak cepat menuju kesetaraan di berbagai sektor, Gereja Katolik tetap mempertahankan garis doktrinal yang membatasi jabatan tertinggi hanya bagi laki-laki.
Perubahan bisa saja terjadi di masa depan, tapi seperti yang bisa kita lihat dari sejarah gereja, perubahan besar selalu membutuhkan waktu, refleksi teologis, dan konsensus global yang mendalam.
Apakah perempuan suatu saat bisa menjadi Paus?
Itu masih jadi tanda tanya besar, tapi perdebatan ini menunjukkan bahwa wacana tentang kesetaraan tidak pernah benar-benar hilang, bahkan dalam institusi seketat dan setradisional Vatikan.***
Artikel Terkait
Perdana Menteri Pakistan Shehbaz Sharif Bakal Balas Serangan India yang Hancurkan Pakistan dengan Rudal
Konklaf 2025 Dimulai, Kapel Sistina Dikunci, 133 Kardinal Dunia Mulai Pilih Paus Baru, Siapa yang Paling Dijagokan?
Asap Hitam Mengepul dari Kapel Sistina, Paus Baru Belum Terpilih? Ini Alasan Dunia Katolik Menahan Napas
Makna Asap Hitam dan Putih di Konklaf 2025, Tanda dari Langit tentang Paus Baru
Pemilihan Paus Tercepat Sepanjang Sejarah Modern, Hanya Butuh 33 Jam di Tahun 1978