HUKAMANEWS - Pemilihan Paus selalu menyita perhatian dunia, tak hanya karena prosesi religiusnya yang penuh simbol dan rahasia, tetapi juga karena pertanyaan-pertanyaan besar yang terus muncul, termasuk soal kemungkinan perempuan menjadi pemimpin tertinggi Gereja Katolik.
Di tengah arus global soal kesetaraan gender, pertanyaan “mengapa perempuan tidak bisa jadi Paus?” semakin sering terdengar, terutama dari kalangan yang melihat Gereja Katolik masih terlalu konservatif.
Namun, jawaban atas pertanyaan ini tidak sesederhana "karena memang belum pernah ada".
Isu ini menyangkut doktrin yang telah hidup selama lebih dari dua milenium, serta protokol gerejawi yang kaku dan sangat terstruktur.
Baru-baru ini, Gereja Katolik membuat sejarah dengan terpilihnya Paus Leo XIV, yang sebelumnya dikenal sebagai Kardinal Robert Francis Prevost dari Chicago.
Ia menjadi Paus pertama yang lahir di Amerika Serikat, menandai terbukanya Gereja terhadap latar belakang geografis yang lebih beragam.
Namun, meski sejarah tercipta dari sisi asal-usul Paus, pembahasan tentang peluang perempuan menduduki posisi ini tetap tertutup rapat.
Secara doktrinal, Gereja Katolik menetapkan bahwa hanya pria yang dapat menerima tahbisan suci.
Hal ini termaktub dalam Kitab Hukum Kanonik, tepatnya pada Kanon 1024, yang secara eksplisit menyatakan bahwa hanya pria yang telah dibaptis yang dapat ditahbiskan secara sah.
Dengan kata lain, karena hanya pria yang bisa menjadi imam, dan hanya imam yang bisa menjadi Paus, maka perempuan secara otomatis tidak memenuhi syarat.
Protokol pemilihan Paus atau konklaf juga mempertegas eksklusivitas ini.
Konklaf hanya diikuti oleh kardinal pria yang berusia di bawah 80 tahun.
Mereka berkumpul di Kapel Sistina, mengucap sumpah kerahasiaan, lalu melakukan pemungutan suara secara tertutup sampai mencapai mayoritas dua pertiga.