Langkah ini diambil demi menghindari kebingungan visual yang sempat terjadi di masa lalu, ketika asap abu-abu kerap menimbulkan salah tafsir.
Di balik simbolik asap tersebut, proses konklaf sendiri berjalan sangat tertutup dan disiplin tinggi.
Seluruh kardinal yang berpartisipasi dikurung secara eksklusif di dalam Kapel Sistina, tanpa akses terhadap perangkat komunikasi, media, atau pihak luar.
Mereka bahkan harus menyerahkan ponsel dan tidak diperbolehkan berinteraksi di luar ruang konklaf hingga proses selesai.
Pelanggaran terhadap aturan kerahasiaan bisa dikenai sanksi ekskomunikasi—sebuah konsekuensi serius dalam hukum Gereja Katolik.
Dalam satu hari, para kardinal biasanya melakukan hingga empat sesi pemungutan suara—dua kali di pagi dan dua kali di sore hari.
Setiap sesi ditutup dengan pembakaran surat suara, yang hasilnya ditandai lewat asap.
Jika belum mencapai kesepakatan, maka asap hitam yang keluar.
Namun, ketika suara mayoritas berhasil diraih oleh satu kandidat, maka pembakaran akan menghasilkan asap putih.
Tak hanya itu, lonceng Basilika Santo Petrus juga akan dibunyikan sebagai konfirmasi tambahan bahwa Paus baru telah terpilih.
Saat ini, umat Katolik dari berbagai belahan dunia terus menunggu.
Bukan hanya karena penasaran siapa yang akan menduduki tahta Santo Petrus, tetapi karena posisi Paus memiliki peran penting secara global—baik secara spiritual, moral, maupun geopolitik.
Sebagai pemimpin lebih dari satu miliar umat Katolik di dunia, arah Gereja dalam beberapa tahun ke depan akan sangat dipengaruhi oleh figur yang akan muncul dari konklaf ini.