Namun, pada Februari lalu, perusahaan justru menemukan bahwa ada sejumlah kecil data yang ternyata tersimpan di server China.
Informasi ini baru mereka laporkan ke DPC sebulan kemudian, dan baru setelah itu TikTok mengonfirmasi bahwa data tersebut telah dihapus.
Insiden ini memperlihatkan adanya celah besar dalam sistem manajemen data TikTok yang beroperasi lintas negara.
Dengan adanya tekanan kuat dari regulator, perusahaan kini diharuskan meninjau dan memperbaiki seluruh proses pengolahan dan pemindahan data pengguna Eropa.
Baca Juga: Ben-Gvir, Anggota Parlemen Sayap Kanan Israel Todongkan Senjata ke Dua Petugas Keamanan Palestina
Jika dalam enam bulan TikTok tidak bisa membuktikan bahwa data pengguna terlindungi sesuai standar GDPR, maka Uni Eropa siap mengambil langkah lebih tegas, termasuk menghentikan transfer data ke China secara total.
Denda ini menandai salah satu sanksi terbesar yang pernah dijatuhkan kepada perusahaan teknologi terkait pelanggaran data pribadi di bawah GDPR.
Kejadian ini sekaligus menjadi sinyal keras bahwa Uni Eropa tidak akan mentoleransi praktik data lintas negara yang tidak transparan dan tidak aman.
TikTok, yang dimiliki oleh perusahaan asal China, ByteDance, selama ini memang berada dalam sorotan terkait dugaan kedekatannya dengan pemerintah China.
Dengan munculnya kasus ini, tekanan terhadap TikTok bisa saja merembet ke negara-negara lain yang selama ini juga mempertanyakan komitmen TikTok terhadap privasi pengguna.
Sementara itu, pengguna di Eropa disarankan untuk lebih waspada terhadap data pribadi yang mereka unggah ke platform digital mana pun.
Kepercayaan publik kini menjadi taruhan besar bagi TikTok, terutama di tengah persaingan ketat industri media sosial global.
Apakah TikTok mampu memperbaiki sistemnya dan meraih kembali kepercayaan regulator serta pengguna? Enam bulan ke depan akan menjadi ujian besar yang menentukan arah masa depan TikTok di pasar Eropa.***