HUKAMANEWS Climate Justice - Sumatera hari ini seperti sedang mengetuk pintu nurani kita. Bukan dengan halus, melainkan dengan banjir, longsor, dan hutan yang mendadak botak.
Di tengah kondisi yang tidak baik-baik saja, Hening Parlan, Koordinator Nasional GreenFaith Indonesia, dalam catatan opininya mengajak kita menengok ulang nalar moral yang sering dikalahkan ambisi pertumbuhan. Sebab jika hutan terus disulap menjadi lubang tambang dan sungai dijadikan saluran limbah, kita bukan hanya salah urus alam, tapi juga sedang mengkhianati ajaran paling dasar: menjaga kehidupan.
Berikut catatan lengkapnya.
***
Hutan Sumatera digunduli, tambang dikuras, sungai kian keruh. Alam berontak, iman pun mengingatkan: kita tak boleh membiarkan pulau ini terus memikul beban yang bukan salahnya.
ADA saat ketika sebuah pulau seakan mengirimkan pesan lirih kepada kita—bukan lewat kata, tetapi lewat banjir yang merengsek ke rumah, lewat tanah retak di tepian sungai, lewat udara panas yang dulu tak pernah sepanas ini. Sumatera, dengan segala kekayaan budaya, hutan tropis, dan sungai yang menjadi nadi masyarakat, sedang bersuara. Dan suaranya tidak sedang baik-baik saja.
Tanda-tanda ini bukan sekadar peringatan alam. Ini adalah panggilan moral. Karena ketika hutan dibelah, sungai dicemari, dan desa dikepung lubang tambang, yang rusak bukan hanya bentang alam, tetapi juga hubungan manusia dengan nilai-nilai iman yang mengajarkan penjagaan atas ciptaan.
Tekanan ekstraksi di Sumatera meningkat tajam. Data terbaru menunjukkan 1.907 izin tambang minerba aktif tersebar di pulau ini, menguasai lebih dari 2,45 juta hektare lahan—luasan yang setara dengan gabungan tiga provinsi kecil. Begitu izin dibuka, wajah pulau berubah perlahan namun pasti. Hutan-hutan yang menjadi penyaring alam kini terpotong jalan angkut, ditingkahi suara mesin yang menyalakan deru sepanjang hari.
Di kawasan hutan lindung, skema Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH) telah mengeluarkan 271 izin, mencakup lebih dari 53 ribu hektare. Angka itu menunjukkan betapa mudahnya batas “lindung” berubah menjadi “lahan produksi”. Di atas kertas, semuanya tampak sah. Namun di lapangan, pepohonan tumbang, satwa terusir, dan tutupan vegetasi tinggal bayangan peta. Di banyak komunitas agama di akar rumput, perubahan ini terasa sebagai bentuk pelanggaran terhadap prinsip dasar iman: menghormati kehidupan dan menjaganya.
Bukaan lahan mencapai 570 hektare di area penting penyangga daerah aliran sungai (DAS) menjadi alarm besar. Begitu hulu kehilangan pelindungnya, air hujan tidak lagi punya ruang meresap. Ia mengalir tanpa kendali, membawa lumpur, menumbangkan tebing, menghanyutkan harapan. Banjir bandang yang kini makin sering menyapu permukiman bukanlah semata takdir cuaca; ia adalah akibat logis dari hutan yang digerogoti.
Bagi banyak pemuka agama di Sumatera, air bukan hanya kebutuhan fisik. Ia dipakai untuk menyambut kehidupan, menyucikan diri, dan merawat tradisi. Ketika sungai menjadi keruh dan tercemar, luka ekologis itu terasa menembus ke ranah spiritual.
Ketidakadilan Iklim dan Seruan Lintas Iman
Krisis ekologis ini memperlihatkan ketimpangan yang begitu telanjang. Komunitas yang paling sedikit berkontribusi pada kerusakan justru menanggung beban paling besar: petani yang bibitnya gagal tumbuh karena lumpur banjir, masyarakat adat yang kehilangan hutan tempat mereka berdoa, para perempuan desa yang harus berjalan lebih jauh mencari air bersih, hingga anak-anak yang tumbuh dengan kualitas udara dan air yang merosot.
GreenFaith Indonesia memandang ini sebagai persoalan ketidakadilan iklim. Alam dipaksa bekerja di luar batasnya, sementara masyarakat kecil menjadi tameng pertama ketika bencana datang. Di sisi lain, keuntungan besar mengalir ke kantong segelintir pihak yang nyaris tidak merasakan dampak paling pahitnya.