climate-justice

GreenFaith Indonesia dan UIN Sumut Sepakat: Agama Harus Turun Tangan Hadapi Krisis Lingkungan

Rabu, 19 November 2025 | 21:06 WIB
Koordinator nasional GreenFaith Indonesia Hening Parlan menerima cindera mata usai menyampaikan materi di acara Seminar Kolaboratif: Peran Agama dalam Isu Lingkungan yang diselenggarakan di UIN Sumatera Utara pada Selasa, 18 November 2025.

 

HUKAMANEWS Greenfaith - Krisis lingkungan di Sumatera Utara kian nyata. Hutan menyusut. Bencana ekologis makin sering muncul. Konflik agraria tak kunjung selesai. Situasi ini menuntut peran moral dan spiritual yang lebih kuat dari kampus, tokoh agama, dan masyarakat sipil.

Semangat itu terasa dalam seminar Peran Agama dalam Isu Lingkungan di UIN Sumatera Utara, Selasa (18/11/2025). Kampus ini menegaskan komitmennya menjadi pusat kajian lingkungan berbasis nilai keagamaan, sekaligus ruang bertemunya akademisi, aktivis, dan pemimpin komunitas.

Koordinator Nasional GreenFaith Indonesia, Hening Parlan, menegaskan bahwa energi perubahan ada pada generasi muda. Menurut dia, krisis lingkungan bukan hanya soal teknis, tetapi juga persoalan moral.

Baca Juga: Gaduh Ijazah Jokowi: Jejak Hoaks Berulang di Balik Kabut Polemik yang Difabrikasi

“Nilai keimanan itu bisa menjadi tenaga besar untuk menjaga bumi. Mahasiswa bisa mengubahnya jadi aksi nyata—membuat film pendek, mendampingi komunitas, atau berkampanye kreatif di media sosial,” ujar Hening.

Ia juga mendorong solidaritas lintas iman sebagai kekuatan untuk menghadapi krisis ekologis yang semakin kompleks.

Dari ruang akademik, Dr Faisal Riza memaparkan meningkatnya konflik agraria dalam satu dekade terakhir.
“Kebijakan negara dalam mengelola sumber daya alam masih menyingkirkan masyarakat adat dari ruang hidupnya,” katanya.
Ia menilai minimnya konsultasi publik membuat hak-hak tradisional masyarakat adat tergerus oleh proyek pembangunan.

Baca Juga: Temurejo Bangkit Lewat Selai Buah Naga, Wirausaha Hijau dan Inklusi Tuli Jadi Sorotan

Nada keprihatinan serupa datang dari Direktur KSPPM, Roki Pasaribu. Ia menampilkan video kondisi lapangan yang menunjukkan bagaimana kerusakan lingkungan dan konflik agraria memperburuk kualitas hidup masyarakat.
“Pemiskinan, kriminalisasi, dan hilangnya akses air bersih terjadi di banyak wilayah. Perempuan adalah kelompok yang paling rentan,” ujarnya.

Kesaksian paling menggugah disampaikan Sahala Pasaribu, dari Komunitas Adat Op. Nasomalo Marhohos Natinggir di Toba. Ia menceritakan bagaimana komunitasnya berhadapan dengan perusahaan TPL selama enam tahun terakhir.
“Kami menghadapi intimidasi dan kekerasan. Dua orang terluka. Lebih dari 20 kendaraan dirusak. Ruang hidup kami makin sempit,” tuturnya.
Ia berharap mahasiswa ikut terlibat dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat adat.

Baca Juga: Indonesia Disorot Dunia, Dapat 'Fossil of the Day' di COP30, Tanda Bahaya untuk Masa Depan Iklim? 

Seminar ini menghasilkan sejumlah rekomendasi. Di antaranya, penguatan kurikulum ekoteologi, perluasan jejaring lintas iman, serta kolaborasi kampus–komunitas untuk memperkuat advokasi lingkungan di Sumatera Utara.

Di tengah tekanan ekologis di kawasan Danau Toba dan wilayah lain, inisiatif UIN Sumatera Utara menjadi dorongan moral agar kerusakan lingkungan tidak lagi dianggap hal yang lumrah.***

Tags

Terkini

Banjir Sumatra dan Krisis Moral Ekologis Bangsa

Sabtu, 6 Desember 2025 | 22:05 WIB

Tragedi Sumatera, Ketika Kesucian Alam Dipertaruhkan

Kamis, 4 Desember 2025 | 14:07 WIB