“Politik banner, hanya protes dengan spanduk tanpa masuk ke sistem formal, tidak cukup. Rakyat harus berpolitik. Kalau kita diam, negara akan terus dimiliki elit,” ujarnya.
Ia mengutip pemikiran Muhtar Habibie mengenai good governance—di mana negara, pasar, dan NGO bekerja bersama. Tapi di balik jargon inklusi, tersembunyi logika eksklusi: siapa yang tak setuju dengan akumulasi kapital, akan disingkirkan.
Gus Roy juga menyoroti bagaimana konsep “modal sosial” yang dipromosikan Bank Dunia sebenarnya hanya tambal sulam dari krisis solidaritas sosial.
“Ini alat untuk mengamputasi keberpihakan. Kita didorong untuk saling percaya, tapi dalam sistem yang tidak adil,” katanya, merujuk pada kritik Ben Fine dari School of Oriental and African Studies (SOAS), London.
Dengan menyebut studi James Ferguson di Lesotho dan teori David Harvey tentang “relational space,” Gus Roy menegaskan bahwa ruang bukan sekadar geografi, tetapi konstruksi sosial yang menentukan siapa yang berkuasa dan siapa yang tersingkir. “Ruang bukan hanya fisik. Ia juga memori, harapan, dan identitas,” katanya.
Kapitalisme, Infrastruktur, dan Perang Ruang
Menutup diskusi, Gus Roy menyinggung economic corridor—konsep pembangunan seperti tol, pelabuhan, hingga PLTU yang membentuk ‘jalur emas’ bagi investor. “Jangan kira tol Sukabumi itu untuk warga. Itu untuk industri Batang dan Kendal. Kita cuma penonton,” kritiknya.
Ia menyebut PSN, BRI (Belt and Road Initiative) China, dan MP3EI sebagai bentuk baru imperialisme ekonomi. “Kapitalisme butuh krisis untuk hidup, termasuk perang. Dan kita dibiarkan hidup dalam reruntuhannya.”
Dalam forum yang berlangsung hangat namun reflektif itu, Gus Roy menyodorkan bukan hanya kritik, tetapi juga kesadaran baru bahwa perlawanan terhadap ketimpangan harus dimulai dari perebutan kembali ruang—secara fisik, sosial, dan spiritual.
“Kalau kita tidak rebut ruang kita sendiri, ruang itu akan diisi orang lain. Dan biasanya, yang datang bukan orang yang berpihak pada kita,” pungkasnya.***