climate-justice

Tak Hanya Dakwah, ‘Aisyiyah Kini Jadi Pelopor Green School dan Energi Surya

Minggu, 1 Juni 2025 | 06:00 WIB
Ilustrasi. Pemasangan panel surya

 

HUKAMANEWS GreenFaith — Gerakan menuju transisi energi berkeadilan mulai menemukan pijakan di ruang-ruang pendidikan. Melalui sinergi antara GreenFaith Indonesia, Mosaic, dan Pimpinan Wilayah 'Aisyiyah (PWA) Jawa Barat, energi bersih kini mulai diperkenalkan bukan dari pusat kebijakan, melainkan dari sekolah-sekolah, masjid, dan komunitas akar rumput.

Pengajian daring bertajuk “Fikih Transisi Energi Berkeadilan untuk Keadilan Antargenerasi” pada 29 Mei 2025 menjadi momentum penting. Diikuti oleh pimpinan daerah 'Aisyiyah se-Jawa Barat serta jejaring Lembaga Lingkungan Hidup dan Penanggulangan Bencana (LLHPB) dari berbagai provinsi, forum ini menyuarakan komitmen kolektif untuk menjadikan energi bersih sebagai bagian dari dakwah dan amal usaha pendidikan.

“Allah telah memberikan kita energi melimpah—matahari, angin, air—yang bersih, terbarukan, dan murah. Bisakah kita mulai dari sekolah-sekolah kita sendiri?” tanya Ia Kurniati, Ketua PWA Jawa Barat, dalam sambutannya. Ia menyebut setidaknya enam daerah—Sukabumi, Cianjur, Garut, Kabupaten Bandung, Sumedang, dan Kota Cirebon—yang telah menyatakan kesiapan memasang panel surya di sekolah-sekolah dasar dan taman kanak-kanak ‘Aisyiyah.

Lebih dari sekadar efisiensi energi, gerakan ini adalah bentuk amal jariyah baru. Dini Jembar Wardani, jurnalis lingkungan dari Greeners.co, membagikan kisah nyata masjid di Yogyakarta dan Malang yang menekan biaya listrik hingga 60 persen setelah memasang panel surya. “Energi bersih bukan sekadar teknologi, ini wujud nyata dari gotong royong dan sedekah energi,” ujarnya.

Ia Kurniati, Ketua Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah Jawa Barat saat menyampaikan materi Geralan Aisiyah cinta lingkungan

Gagasan besar gerakan ini tidak lepas dari rumusan fikih baru yang progresif. Parid Ridwanuddin, dari GreenFaith Indonesia, memperkenalkan Fikih Transisi Energi Berkeadilan—panduan etis yang tidak hanya berbicara soal hukum agama, tetapi juga soal tanggung jawab antargenerasi. “Transisi energi adalah cara. Tujuannya adalah keadilan iklim dan keberlanjutan hidup. Kita tidak bisa membiarkan generasi mendatang menanggung akibat dari kesalahan pembangunan hari ini,” tegasnya.

Lebih lanjut, buku fikih tersebut menyerukan agar energi dipandang sebagai hak, bukan komoditas. Maka, zakat, infak, dan wakaf bisa diarahkan untuk membiayai panel surya, bukan sekadar renovasi bangunan atau konsumsi rutin.

Namun gerakan ini tidak akan berarti tanpa struktur yang kuat. Oleh karena itu, Hening Parlan, Koordinator Nasional GreenFaith Indonesia, mendorong pelatihan Training of Trainer untuk seluruh kepala sekolah ‘Aisyiyah se-Jawa Barat. “Gerakan ini butuh ekosistem. Tidak bisa jalan sendiri-sendiri. Harus saling dukung antara majelis pendidikan, LLHPB, dan komunitas,” ucapnya.

Di akhir diskusi, Amalia Nur Milla, Ketua Divisi Lingkungan Hidup LLHPB PWA Jabar, menegaskan pentingnya membangun kesadaran kolektif. “Transisi energi bukan milik elite. Ini milik kita semua. Dari sekolah, dari masjid, dari rumah, dan dari iman yang hidup.”

Gerakan ini masih di tahap awal. Namun jika langkah kecil dari sekolah-sekolah 'Aisyiyah ini terus disambut oleh komunitas luas, bukan mustahil energi bersih akan tumbuh dari akar rumput—pelan, pasti, dan membawa harapan baru bagi bumi dan umat manusia.***

 

Tags

Terkini

Banjir Sumatra dan Krisis Moral Ekologis Bangsa

Sabtu, 6 Desember 2025 | 22:05 WIB

Tragedi Sumatera, Ketika Kesucian Alam Dipertaruhkan

Kamis, 4 Desember 2025 | 14:07 WIB