climate-justice

Krisis Iklim Tidak Hanya Menghancurkan Bumi, tetapi Juga Merusak Kesehatan Mental

Sabtu, 30 November 2024 | 20:16 WIB
Krisis iklim tidak hanya membuat bumi rusak, tapi juga menghancurkan kesehatan mental manusia.

HUKAMANEWS GreenFaith - Krisis iklim telah membawa dampak besar bagi kehidupan manusia, bukan hanya pada aspek fisik, tetapi juga pada kesehatan mental. Dampak ini sering kali tak kasat mata, namun memiliki konsekuensi yang mendalam dan meluas, memengaruhi individu dan masyarakat secara global.

Trauma, kecemasan, hingga depresi menjadi bagian dari "harga" yang harus dibayar manusia atas kerusakan yang terjadi pada lingkungan.

Cuaca ekstrem yang semakin sering terjadi, seperti banjir, kebakaran hutan, kekeringan, dan angin topan, meninggalkan jejak trauma yang mendalam. Kehilangan rumah, pekerjaan, bahkan anggota keluarga karena bencana ini tidak hanya menghancurkan kehidupan sehari-hari, tetapi juga kesehatan mental korbannya.

Emma Lawrance, seorang ahli saraf klinis dari Imperial College London, menjelaskan bahwa peristiwa seperti ini dapat memicu kecemasan, depresi, hingga meningkatnya risiko bunuh diri.

Sebagai contoh, kebakaran hutan di Australia pada tahun 2020 memaksa pemerintah mengalokasikan sekitar 730 miliar rupiah hanya untuk layanan dukungan kesehatan mental. Data menunjukkan bahwa dampak psikologis dari bencana semacam ini bahkan bisa 40 kali lebih besar dibandingkan cedera fisik.

Baca Juga: Kenapa Hilirisasi Nikel Ngebut tapi Bauksit Lambat? Bahlil Bongkar Rahasia di Balik Strategi Pengusaha Indonesia

Lingkaran Setan Krisis Iklim dan Kesehatan Mental

Dampak psikologis dari krisis iklim membentuk lingkaran setan. Bencana yang berulang kali terjadi membuat masyarakat semakin rentan, memperburuk kondisi kesehatan mental, dan pada akhirnya mengurangi kapasitas mereka untuk menghadapi tantangan baru.

Bagi generasi muda, krisis iklim menjadi salah satu sumber kecemasan terbesar. Mereka merasa terbebani oleh ketakutan akan masa depan yang suram.

Dalam sebuah survei di Inggris selama pandemi COVID-19, dilaporkan bahwa kaum muda lebih stres memikirkan dampak perubahan iklim daripada pandemi itu sendiri.

Perasaan frustrasi terhadap kurangnya tindakan global dan rasa bersalah karena merasa tak berdaya turut memperburuk keadaan.

Fenomena ini dikenal sebagai eco anxiety, atau kecemasan terhadap kondisi lingkungan.

Baca Juga: Hening Parlan, Merajut Keimanan dan Keberlanjutan Lingkungan untuk Selamatkan Bumi

 

Krisis iklim juga berdampak pada kualitas udara yang kita hirup setiap hari. Polusi udara seperti partikel halus (PM 2.5) dan nitrogen dioksida (NO2) tidak hanya membahayakan paru-paru, tetapi juga otak manusia.

Penelitian menunjukkan bahwa paparan polusi udara secara terus-menerus meningkatkan risiko gangguan kecemasan, depresi, hingga gangguan bipolar.

Halaman:

Tags

Terkini

Banjir Sumatra dan Krisis Moral Ekologis Bangsa

Sabtu, 6 Desember 2025 | 22:05 WIB

Tragedi Sumatera, Ketika Kesucian Alam Dipertaruhkan

Kamis, 4 Desember 2025 | 14:07 WIB